Warta

Komitmen NU Perlu Ditegaskan dengan Tindakan Riil

Jumat, 7 Oktober 2005 | 21:28 WIB

Singkawang, NU Online
NU sekarang tidak pantas lagi terbuai dengan kebesarannya. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang pernah merasakan pahit getirnya perjalanan sejarah berbangsa, NU bisa dibilang mewarnai panggung sejarah bangsa. Meski demikian, saat ini adalah masa yang tepat untuk berbenah diri dan menyuarakan lagi misi pengabdian (khidmah) NU kepada masyarakat.

Misi pengabdian ini dapat direalisasikan dengan kerja-kerja konkret tidak hanya di bidang pendidikan dan keagamaan, namun juga melalui penguatan basis perkonomian masyarakat.

<>

Gagasan ini pernah dilontarkan oleh M. Zeet Hamdy, Ketua Umum PC NU Singkawang, ketika ditemui NU Online pada saat melakukan lawatan ke Kalimantan Barat, sebulan yang lalu. Dalam pandangannya, NU membutuhkan kerja keras para pengurusnya, mulai dari pusat hingga ke daerah. Masalahnya, banyak masyarakat NU di akar rumput, terutama di luar Jawa yang tidak tersentuh. Perlunya rekonstruksi sejarah NU, justru harus dimulai dari lokal (daerah). Dari pengalaman sejarah yang dimiliki NU di masa lalu perlu ditransformasikan pada generasi baru, agar mereka tahu tanggung jawabnya di masa sekarang dan akan datang.

M. Zeet mencontohkan bahwa di Kalbar pernah terjadi konflik yang berimbas kerusuhan antar etnis Melayu dan Madura. Konflik ini sempat  berulang-ulang, hingga yang terakhir terjadi pada tahun 1999. Sekarang ini sedang diupayakan bagaimana kedua etnis ini bisa hidup rukun lagi, berbaur dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai organisasi yang sejak awal memiliki komitmen terhadap integritas bangsa, NU semestinya peka terhadap permasalahan ini. Apalagi di Kalimantan Barat, lebih tepatnya di Sambas, merupakan tempat yang tergolong tua dalam sejarah penyebaran pengetahuan agama Islam. Banyak ulama besar yang dilahirkan dari Sambas. “Termasuk Syaikhuna Kholil Bangkalan pernah berguru di Sambas. Fakta sejarah ini sebenarnya bisa dijadikan sarana mental-spiritual untuk mempersatukan kembali antara masyarakat di Sambas guna menjaga perdamaian” tandasnya.

Selain itu, NU juga harus peka terhadap dinamika lokal dalam internal organisasi. Sebagai contoh di Sambas, mayoritas penduduknya adalah etnis Melayu, termasuk warga NU. Tetapi kepengurusan NU didominasi oleh warga Madura. Ini secara tidak langsung juga akan mempengaruhi terhambatnya dinamika kultural. Apalagi bagi orang Melayu yang dikenal ramah, orang Madura dianggap kasar dan lebih senang menonjolkan identitas kelompoknya. Sementara, NU di daerah Kalbar punya ikatan historis dengan NU sejak awal berdirinya organisasi ini. Memang NU di daerah ini sempat menarik diri secara keorganisasian dengan pusat ketika NU berubah jadi partai politik pada tahun 50-an. Tapi akhirnya, setelah menegaskan kembali ke khittah 1926, banyak cabang NU di Kalbar yang rujuk lagi secara organisasi. Pengetahuan sejarah seperti ini perlu dijadikan pelajaran bagi generasi sekarang untuk merumuskan gagasan dan tindakan yang lebih maju.

Dalam hal menjalankan agenda rekonsiliasi pasca terjadinya konflik, tambah M. Zeet, keterlibatan dan partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan. Ini mengingat program pemerintah dalam hal rekonsiliasi lebih bersifat formal dan tidak mengakar, sehingga tidak menyentuh masyarakat yang bersangkutan. Dalam situasi sosial yang masih sensitif akibat trauma pasca kerusuhan, peran tokoh agama yang benar-benar dapat dipercaya oleh masyarakat sangat dibutuhkan. Di saat itulah NU harus hadir di tengah-tengah sebagai sarana pemersatu. Melalui pendidikan, tabligh, dan pendekatan budaya lebih bisa diyakini mampu menumbuhkan kedewasaan bermasyarakat, sehingga perdamaian bisa lestari.

Namun menurut ketua NU yang juga mantan Sekda Singkawang ini, hal yang tak kalah pentingnya adalah membangun perekonoman umat. Karena setiap konflik yang terjadi di hampir setiap wilayah Indonesia berakar dari masalah ekonomi. NU bisa memperkuat jaringan, informasi bahkan sampai finansial untuk menumbuhkan ekonomi sektor riil, seperti agrobisnis. Jika demikian, maka komitmen NU dalam menjaga integritas bangsa bisa dikatakan maju, karena mampu mewujudkan hal yang ideal menjadi sesuatu yang riil dan dapat dirasakan oleh orang banyak. (aji)


Terkait