Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggap ajakan golput yang dilakukan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai bentuk perlawanan politik. Sikap itu bukan dalam pengertian tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum 2009 mendatang.
Pernyataan tersebut diungkapkan Anggota KPU, I Gede Putu Artha, dalam diskusi bertajuk Fenomena Golput dalam Pilkada dan Potensi Golput dalam Pemilu 2009 di Jalan Fahrudin, Jakarta, Kamis (7/8).<>
Putu menjelaskan, istilah golput pertama kali diungkapkan Arif Budiman di era 1970-an. Istilah itu digunakan untuk sebuah perlawanan, gerakan politik yang dilakukan dengan penuh kesadaran.
Ia menilai, dahulu, orang yang golput adalah mereka yang berpengetahuan cukup. Mereka tidak menggunakan suaranya karena tahu tidak akan menghasilkan apa pun.
“Nah, sekarang, arti golput itu mengalami degradasi makna karena semua pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dianggap golput. Padahal, tidak semua pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya melakukannya dengan sebuah kesadaran untuk perlawanan,” terang Putu.
Menurutnya, ada dua macam faktor penyebab orang tidak menggunakan hak pilihnya. Pertama, faktor intrinsik, yakni kesadaran dari dalam diri seseorang untuk tidak memilih. "Inilah yang menjadi penyebab golput,” pungkasnya.
Kedua, adalah faktor ekstrinsik, yakni yang berkaitan dengan sistem regulasi tentang pemilihan diatur. Ketiga, kesalahan sistem yang membuat angka golput tinggi, yakni political error, human error, dan technical error.
"Untuk human error, misalnya, berkaitan dengan komputerisasi. Kesalahan meng-input data bisa membuat pemilih tidak terdaftar," katanya.
Ajakan golput tidak hanya diserukan Gus Dur, tapi juga Ketua Umum Partai Kerakyatan Nasional (PKN), Harmoko. Menurut Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Agustiani Tio Fridelina, seruan itu terancam hukuman penjara maksimal 2 tahun dan denda minimal Rp 6 juta.
"Betul (Harmoko bisa dipenjara berdasarkan UU Pemilu) ditambah denda," kata Agustiani.
Ancaman untuk Harmoko tercantum dalam UU Pemilu Nomor 10/2008 pasal 287. Pasal itu berbunyi, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp 6 juta dan paling banyak Rp 24 juta. (nif)