Penguatan fenomena "golongan putih" (golput) yang menimbulkan kegalauan sejumlah pihak menjelang Pemilu 2009 tidak dapat dilepaskan dari kekecewaan publik pada kinerja partai-partai politik (parpol) Islam, kata akademisi Muslim Indonesia di Universitas Queensland (UQ), Akhmad Muzakki.
Untuk menekan jumlah mereka tidak memilih dalam Pemilu 2009 itu, politisasi agama dengan mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa "golput haram" bagi Muslim bukan solusi. "Mestinya ketika terjadi penguatan golput, partai-partai Islam mengaca diri supaya tahu apa yang salah pada dirinya," katanya di Brisbane, Ahad (28/12).<>
Muzakki, dosen IAIN Surabaya yang sedang merampungkan studi doktornya di UQ itu mengatakan, tidak ada kata terlambat bagi parpol-parpol Islam untuk "mempercantik diri" di depan publik dengan kinerja dan program-program yang merakyat dan pro pada penciptaan pemerintahan yang bersih.
"Dengan cara begitu golput dengan sendirinya akan semakin mengecil. Tapi ini jangan sekadar retorika politik," kata Muzakki.
Ia mengatakan, tidak ada kata terlambat bagi parpol-parpol Islam sebagai pihak yang akan sangat dirugikan oleh penguatan fenomena golput untuk mempercantik diri. "Belajarlah dari Partai Gerindra-nya Prabowo Subianto karena tren popularitas partai baru ini terus menaik."
Kenaikan popularitas Partai Gerindra itu, lanjut Muzakki, tidak bisa dilepaskan dari program-programnya yang pro-rakyat. "Yang paling menyentuh adalah bagaimana petani dicoba diberdayakan ekonominya. Gerindra juga bicara tentang nelayan dan seterusnya. Kemasan iklan partai ini pun bagus," katanya.
Kasus Partai Gerindra ini menjadi cermin dari "tidak adanya kata terlambat" bagi parpol-parpol Islam untuk segera mempercantik diri, sebagai upaya meminimalisir kehadiran golput dalam pemilihan kepala daerah maupun Pemilu 2009, katanya.
Upaya membenahi kinerja dan program-program konkret parpol yang pro-rakyat dan pemerintahan yang bersih itu juga akan menolong parpol-parpol Islam terhindar dari kemerosotan jumlah pemilih, karena konstituen parpol-parpol Islam cenderung lebih cair daripada parpol nasionalis.
"Konstituen parpol nasionalis itu lebih `firm` (teguh). Mereka pun cenderung lebih ideologis dibandingkan konstituen parpol Islam, walaupun faktor ideologi dalam konteks ini tidak lagi murni ideologi semata, tetapi dibungkus oleh kepentingan material," katanya. (ant/dar)