Warta

KY Ajak Pesantren Awasi Peradilan

Selasa, 31 Juli 2007 | 08:13 WIB

Jakarta, NU Online
Komisi Yudisial (KY), beberapa bulan terakhir, berkunjung ke sejumlah pesantren untuk memasyarakatkan keberadaan lembaga tersebut sambil mengumpulkan dukungan moral bagi upaya mengawasi dunia peradilan.

Sejumlah petinggi lembaga itu rajin menyambangi pesantren untuk berdialog dengan para santri, seperti yang dilakukan Wakil Ketua Komisi Yudisial Thahir Saimima dan Koordinator Bidang Penilaian Prestasi Hakim Mustafa Abdullah di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, akhir pekan lalu.

<>

Thahir Saimima mengatakan, KY mengajak masyarakat berperan dalam mewujudkan lembaga peradilan yang bermartabat dan profesional. "Pesantren itu kan memberikan pendidikan moral, oleh karenanya kita harapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang upaya mewujudkan lembaga peradilan yang bermartabat itu," kata Wakil KY Thahir Saimima.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Menurut dia, peran aktif dari kalangan pesantren sangat penting bagi Komisi Yudisial dalam menjalankan tugas dan fungsinya mewujudkan lembaga peradilan yang bermartabat dan profesional.

Pesantren dan masyarakat diharapkan dapat lebih mengenal, memahami, serta memberikan dukungan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Menurut dia, kehadiran Komisi Yudisial di dalam sistem ketatanegaraan di tanah air merupakan salah satu jawaban yang diberikan konstitusi untuk ambil bagian dalam memperbaiiki lembaga peradilan.

Paling tidak dari kewenangan yang dimilikinya yakni mengawasi kinerja hakim dan melakukan rekrutmen hakim agung diharapkan akan memberikan warna baru bagi lembaga peradilan.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Komisi Yudisial lahir pada era reformasi, saat amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada 2001, bersamaan dengan lahirnya Dewan Perwakilan Daerah dan Mahkamah Konstitusi.

Kehadiran Komisi Yudisial di dalam sistem kekuasaan Kehakiman di Indonesia bukanlah sebagai "asesoris demokrasi", kata Mustafa Abdullah, yang sebelum mengabdikan diri di KY lebih banyak menghabiskan waktu di dunia akademis.

Menurut dia, KY lahir sebagai konsekwensi politik yang ditujukan untuk membangun sistem saling mengawasi dan saling mengimbangidi dalam struktur kekuasaan.

Mustafa mengatakan, selain itu sebagai lembaga yang lahir dari tuntutan reformasi dan bertugas mendorong reformasi peradilan, tentu saja Komisi Yudisial tidak mungkin membiarkan terus-menerus praktek "hina" penyalahgunaan wewenang di badan peradilan. Oleh karena itu, menurut dia, KY akan terus melakukan langkah-langkah strategis yang progresif, logis, dan efektif.

Dia mengatakan, Komisi Yudisial bukanlah khas Indonesia, karena dari 197 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terdapat 43 negara yang mengatur Komisi Yudisial di dalam konstitusi negaranya.

Di Indonesia, kewenangan lembaga tersebut sesuai dengan yang diatur dalam UU, yaitu untuk mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang di lingkungan peradilan.    Upaya yang dilakukan dengan mengawasi perilaku hakim agar para hakim menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Kehormatan Hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya dan pertimbangan yang melandasi atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan  tetapi juga rasa keadilan  yang timbul dari masyarakat.

Pesantren   

Datangnya orang-orang KY ke pesantren, bagi pengasuh Pondok Pesantren Cipasung H Acep Adang Ruhiat Msi, tidak terlepas dari keberadaan pondokan itu yang merupakan bagian dari infrastruktur sosial.

"Dengan keteguhan yang diimbangi dengan denyut fleksibilitas, pesantren sudah semestinya bisa mewarnai dan mengambil peran secara signifikan bukan saja dalam wacana keagamaan tetapi juga dalam seting sosial kenegaraan, bahkan politik dan idiologi negara," kata Acep Adang Ruhiat.

Ia mengatakan, penegakan supremasi hukum yang diidamkan oleh masyarakat bukan sekadar tegaknya hukum tetapi untuk terciptanya rasa keadilan.

Menurut dia, pengalaman pahit yang yangterus menghantui masyarakat adalah kenyataan bahwa hukum, seperti, selalu berpihak pada pemegang kekuasaan. "Itu yang harus dihindarkan," katanya.

Menurut Acep, ada faktor yang menyebabkan kondisi tersebut yaitu rendahnya sikap relijius, moral, dan integritas hakim, serta rendahnya kesadaran hukum masyarakat. (ant/mad)


Terkait