Surabaya, NU Online
Sikap keras kepala PT Lapindo Brantas atas upaya penyelesaian proses ganti rugi terhadap warga yang menjadi korban lumpur panasnya disesalkan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Jawa Timur. Hal itu dinilai sebagai pembangkangan pada pemerintah.
“BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pusat dan Daerah sudah menyatakan tidak diperlukan syarat sertifikat untuk pencairan ganti rugi warga. Semua datanya ada di Kantor BPN. BPN itu kan instansi pemerintah, seharusnya Lapindo mengikuti saran itu,” kata Sri Sugeng Pujiatmiko SH kepada NU Online, Sabtu (16/12).
<>Sugeng—demikian panggilan akrabnya—mengatakan hal itu setelah ganti rugi yang bakal diterima warga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, korban lumpur berbahaya tersebut terancam sirna. Kekecewaan berat bakal menimpa masyarakat yang menjadi korban perusahaan itu. Mereka terancam tidak bisa menerima ganti rugi, meski telah lama menderita kerugian material dan immaterial akibat kelalaian itu.
Ancaman tidak cairnya ganti rugi itu dikarenakan Lapindo masih bersikeras menetapkan sertifikat sebagai syarat pencairan ganti rugi. Padahal diakui oleh salah seorang kepala desa yang daerahnya menjadi korban lumpur, tanah di desanya tidak sampai 10 persen yang bersertifikat atas nama warga. Rata-rata mereka masih menggunakan Petok D bahkan Leter C.
Bagi Sugeng, kalau Lapindo tetap bersikap kaku dengan syarat sertifikat, itu artinya wujud nyata sebagai ‘pembangkangan’ sekaligus pelecehan terhadap pemerintah. “Lha mereka itu tinggal di mana? Kok mokong sama pemerintahnya sendiri,” gugat Sugeng tak habis pikir.
Alumnus Fakultas Hukum Unair itu mengaku tak mengerti dengan sikap Lapindo yang semula memberikan angin segar, namun justru membuat kesulitan kemudian. Padahal kalau mau diselesaikan dengan cara sederhana, katanya, persoalan ganti rugi itu mudah saja. “Kalau memang tanah-tanah warga itu belum bersertifikat, bisa pakai surat yang ada, mungkin Petok D atau Leter C,” ujarnya.
Seperti pengembang yang akan mendirikan perumahan, ungkap Sugeng, mereka juga mau dengan Petok D maupun Leter C. Apalagi saat membeli tanah warga untuk operasi Banjar Panji-1, Lapindo melakukan hal serupa. “Sebenarnya tidak sulit kok. Apalagi BPN sudah memberikan lampu hijaunya dengan jelas,” tutur Sugeng.
Sugeng menduga, Lapindo memang sengaja mengulur-ulur waktu dengan mempersulit persyaratan ganti rugi. Bahkan mensinyalir, ada kesengajaan untuk memailitkan perusahaan pengeboran itu setelah jumlah korban semakin membesar. Setelah pailit, lalu perusahaan itu ditutup, dan persoalan dibiarkan. Lapindo kemudian akan menolak bertanggungjawab, karena memang sudah pailit. Kalau sudah begitu, tentu pemerintah yang akan turun tangan.
Di sisi lain, iai mempertanyakan kepekaan Lapindo terhadap rakyat yang telah begitu lama menderita akibat ulah mereka. “Masyarakat sudah dirugikan berbulan-bulan, harta benda dan mental mereka hancur, lalu kenapa sekarang masih mau dikecewakan lagi? Kasihan mereka,” tutur Sugeng yang juga Wakil Ketua DPD APSI Jatim.
Kalau pemandangan seperti itu terus diperpanjang, ia khawatir akan muncul konflik horisontal berupa aksi massa yang semakin besar. Bila hal itu yang terjadi, maka semua pihak akan menanggung kerugian yang lebih besar lagi. Baik pemerintah, Lapindo, apalagi warga. Mereka akan semakin terbenam dalam penderitaan yang nyaris tanpa harapan. (sbh)