Jakarta, NU Online
Makna Idul Fitri kerap didangkalkan menjadi kembali suci lantaran terhapusnya dosa. Ini membuat moment Idul Fitri menjadi ajang ritus berbalut mitos atau a-historis. Apa yang sudah terjadi tak akan hilang.
Demikian disampaikan budayawan Binhad Nurrohmat untuk NU Online pada malam takbiran, Selasa (30/8), di Jakarta.
<>Permaafan kesalahan bukanlah penghapusan atas kesalahan, melainkan koreksi dan bertekad tak mengulangi kesalahan lagi," jelas lelaki kelahiran Lampung 1 Januari 1976 itu.
Ia menjelaskan bahwa permaafan bukanlah pelupaan, melainkan justru pengingatan. "Jadi jangan merasa nyaman diri jika sudah bilang maaf," tegas alumni pesantren Krapyak Yogyakarta ini.
"Idul Fitri merupakan alarm lahir-batin antar-manusia agar saling merawat kebenaran dan menepiskan kesalahan," lanjutnya.
Binhad selama ini dikenal sebagai penyair yang mengungkapkan tubuh sebagai metafora kehidupan. Puisi-puisinya sarat diksi yang dinilai tabu dalam masyarakat awam di yang juga penyair. Ia misalnya akrab dengan kata seks dengan segala seluk beluknya. Di antara buku antologi puisinya berjudul Kuda Ranjang (2004) dan Bau Betina (2007).
Dari Yogyakarta, Ketua Lesbumi DIY M. Jadul Maula mengingatkan, puasa yang telah dijalani selama sebulan penuh mestinya mendukung umat Islam untuk menemukan sumber-sumber dari nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan yang tersembunyi di dalam alam pikiran, rasa dan batin tiap insan.
"Dan dengan setia pada nilai-nilai yang berakar dalam diri sendiri itu, maka kita akan sampai pada kesadaran agung bahwa kita adalah selalu berkaitan dengan orang lain sebagai sesama manusia dan lingkungan kita dengan segala lapis-lapisannya," tutur jadul yang juga pengasuh pesantren Kali Opak, Bantul.
Semoga, kata Jadul Maula, kita tetap semangat, tulus, dan percaya diri untuk selalu berbuat baik.
Penulis: Hamzah Sahal