Hingga kini, masih banyak kalangan yang salah dalam memahami konsep Khittah NU 1926 meski telah dicetuskan kembali pada 1984 silam. Umumnya, konsep itu disalahpahami sebagai sebuah aturan yang mengikat bagi organisasi sekaligus anggota atau warga NU.
Padahal, konsep yang mengatur hubungan NU dengan bidang politik praktis itu hanya mengikat secara keorganisasian atau kelembagaan. Artinya, secara kelembagaan, NU dilarang melakukan aktivitas politik praktis. Namun, tiap warga NU tetap memiliki hak dan kebebasan berpolitik.<>
Demikian dikatakan Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, KH Abdullah Syamsul Arifin, Jember, Selasa (2/12) kemarin. “Banyak orang yang salah tafsir terkait dengan posisi netral NU,” jelasnya seperti dilaporkan Kontributor NU Online, Aryudi A. Razaq.
Ia menegaskan, warga NU sama dengan warga negara lainnya dalam hak-hak politik. Karena itu, tidak ada larangan bagi warga NU untuk mendukung partai tertentu, pengurus atau sekedar anggota NU.
Gus A’ab—sapaan akrabnya—mengibaratkan NU sebagai kereta api, yang sudah mempunyai jalur khusus. Siapa pun boleh menjadi penumpang asal memenuhi aturan kereta api. Di antaranya mengikuti arah jalur yang sudah ditetapkan.
Dengan demikian, yang harus ikut adalah penumpang, bukan kereta api. Berbeda dengan taksi, ke mana pun bisa diarahkan sesuai kemauan penumpang. “Kalau NU seperti taksi, kan rusak jadinya,” pungkasnya.
Katib Syuriyah Pengurus Cabang NU Jember itu mengakui saat ini banyak partai yang berbasis NU, dan bahkan membawa-bawa nama NU. Tapi, katanya, sebuah kenyataan bahwa partai yang kelahirannya dibidani NU adalah PKB. Tidak hanya itu, sejauh ini, PKB masih menjalin kerja sama cukup baik dengan NU. (rif)