Meski usianya sudah berkepala delapan, namun perhatian KH Abdul Muchith Muzadi (Mbah Muchith) tidak berkurang. Terbukti, di sela opname di RS Bina Sehat Kaliwates, Jember, Jawa Timur, yang sudah berjalan beberapa hari, Mbah Muchith masih juga membicarakan NU. “Mau tidak mikir itu ndak bisa,” ujarnya, Senin (19/2) lalu.
Perhatian salah seorang Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, kali ini tertuju pada kesalahpahaman orang awam, seakan NU adalah sebuh federasi dari badan otonom atau Banom-Banom, Lajnah dan Lembaga. Karena disangka sebuah bentuk gabungan, maka NU menjadi milik bersama dan masing-masing memiliki hak dan suara yang sama. “Padahal sebenarnya tidak seperti itu,” tuturnya dengan<> penuh semangat.
Sudah menjadi ciri Mbah Muchith, setiap berbicara tentang NU selalu bersamangat. Seringkali, di awal pembicaraan dia sedang sakit, namun setelah membicarakan NU, penyakitnya langsung sembuh di akhir pembicaraan.
“Yang benar,” kata Mbah Muchith, “NU itu ada lebih dulu, lalu membentuk Banom, Lembaga dan Lajnah untuk mencapai tujuannya. Jadi Banom, Lajnah dan Lembaga itu hanya merupakan kepanjangan tangan NU, bukan sebuah organisasi lain yang memberikan saham kepada NU, lalu meminta kedudukan yang sama dengan NU. “Kedudukannya jelas tidak sama dengan NU,” jelasnya.
Mbah Muchith mengaku sangat prihatin manakala mendengar ada Banom, Lembaga atau Lajnah yang tidak mematuhi instruksi NU. Ada kesan kuat, mereka menyangka posisi mereka sama dan sejajar dengan posisi NU, lalu merasa punya hak untuk tidak nurut. “Pandangan seperti ini yang kurang pas. Harusnya mereka bersikap sami’na wa atha’na pada apa yang menjadi kemauan NU,” tandasnya.
Hal lain yang menjadi pemikiran Mbah Muchith adalah bebasnya Banom NU menjalin kerja sama dengan para penyandang dana dari luar negeri. Mereka digerojok uang dan berbagai fasilitas, tanpa sepengetahuan dan pengawasan NU. “Ini berbahaya dalam jangka panjang,” tutur Mbah Muchith.
Sebab, tidak ada ceritanya penyandang dana mengucurkan uang secara suka rela. Semuanya ada tendensi. Tidak akan mungkin anggaran bisa mencair manakala proyeknya tidak sama dengan keinginan penyandang dana. Secara kasat mata saja sudah bisa dibaca hasilnya, saat ini sudah banyak anak-anak NU yang mengganti hukum fiqih dengan gender, demokrasi dan HAM.
“Ada yang mengaku tidak setuju dengan poligami, tapi dasar yang dipakai karena poligami ‘tidak sesuai dengan demokrasi’. Ini repot. Mestinya kan pakai dalil fiqih,” kata Mbah Muchith. Ada juga buku Fiqih Aborsi yang diterbitkan salah satu Banom NU. “Seperti tidak ada pekerjaan yang lebih bermanfaat saja,” imbuh Mbah Muchith sambil mewanti-wanti bahwa perang ideologi saat ini sedang terjadi.
Untuk itulah Mbah Muchith berharap, setiap kerja sama dengan siapapun dan dalam bentuk apapun, Banom, Lajnah dan Lembaga harus seijin PBNU. Sebaliknya, PBNU terus mengawasi mereka. Setiap dinilai melenceng, PBNU berhak menegur, mengingatkan, bahkan menghentikannya. (sbh)