Warta

Muslimah Perancis Hadapi Berbagai Tantangan

Kamis, 1 November 2007 | 14:44 WIB

Jakarta, NU Online
Sebagai kelompok minoritas ditengah-tengah negeri Perancis, muslimah Perancis menghadapi berbagai tantangan yang mengharuskan mereka berjuang lebih keras untuk menunjukkan identitas dan eksistensinya.

Mme Dora Mabrouk dari Perancis dalam diskusi tentang Kehidupan Muslimah Perancis yang diselenggarakan PP Fatayat NU di Gd. PBNU, Kamis (1/11) menjelaskan para muslimah di Perancis menghadapi tantangan antara upaya mempertahankan tradisi dan memperjuangkan kebebasan.

<>

Dora yang merupakan wartawan ini menjelaskan sasat ini terdapat sekitar 5 juta penduduk Perancis yang beragama Islam. Mereka sebagian besar datang dari negera-negara Afrika Utara seperti Marokko, Aljazair, Tunisia dan negara bekas jajahan Perancis lainnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Kebutuhan akan pekerjaan pada tahun 1920-an menyebabkan mereka harus melakukan imigrasi ke Perancis yang akhirnya terus berkembang menjadi sebuah komunitas yang cukup besar dengan tradisi muslim yang berbeda dengan tradisi Katolik yang merupakan agama mayoritas dan budaya sekuler di Perancis.

Persoalan tersebut mulai muncul pada generasi ke dua dari para imigran tersebut bagaimana mencari identitas dengan mempertahankan akar tradisi Islam dan budaya asal serta bagaimana mengintegrasikan dirinya dengan budaya Perancis.

Generasi kedua dan ke tiga yang lebih terdidik ini juga mulai mengorganisir diri dengan membentuk berbagai asosiasi berbasis budaya dan agama untuk memperjuangkan diri. Salah satu upaya yang mereka lakukan adalah melakukan demonstrasi besar-besaran pada tahun 1980-an untuk menuntut persamaan hak dengan warga Perancis. Dora mengungkapkan saat ini sudah terdapat sejumlah anggota parlemen yang beragama Islam.

Besarnya muslimah yang hidup di Perancis dan adanya keyakinan agama bahwa mereka diwajibkan menggunakan jilbab telah menyebabkan persoalan jilbab menjadi perdebatan publik yang hangat.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Jika diawal tahun 1980-an, persoalan diselesaikan melalui negosiasi, maka pada tahun 2004 dibuat UU tentang pelarangan penggunaan identitas agama di arena publik. UU ini telah menimbulkan perdebatan publik antara yang pro dan kontra, baik diantara umat Islam sendiri maupun yang non muslim.

Mereka yang pro terhadap jilbab menggunakan argument bahwa asas pendidikan tidak boleh dibatasi sedangkan mereka yang kontra menyatakan bahwa murid tidak bisa memaksakan agama yang dengan menggunakan tanda keagamaan yang menonjol.

Dalam hal ini, penggunaan jilbab di sekolah-sekolah Perancis memang menjadikan muslimah merupakan kelompok yang menonjol karena tidak ada murid dari agama lainnya yang menggunakan tanda-tanda keagamaan.

Namun, yang sering disalahfahami oleh muslim di Indonesia adalah adanya anggapan bahwa larangan penggunaan jilbab bersifat menyeluruh, padahal ini terbatas pada sekolah SD sampai SMA sementara di tingkat perguruan tinggi dibebaskan.

Dora yang juga merupakan pendiri majalah Hawwa, majalah untuk Muslimah Perancis menjelaskan stigma muslim sebagai kelompok teroris juga muncul setelah adanya peristiwa 11 September yang telah menghancurkan gedung kembar WTC di New York.

Sementara itu Ayang Utriza, Dosen UIN Syarif Hidayatullah yang saat ini sedang mengambil program doktor di Perancis menambahkan beberapa persoalan, yang dialami sebagian kecil muslimah Perancis seperti sunat perempuan, sertifikasi keperawanan, dan kawin paksa. Masalah ini merupakan bagian dari tradisi yang dibawa imigran muslim dari negara asalnya.

Ayang juga menjelaskan bahwa poligami juga dilarang di Perancis dan termasuk tindakan kriminal. Talak yang merupakan bagian dari sistem hukum Islam juga tidak diakui di Perancis karena hal ini dianggap patriakal. Disana, laki-laki dan perempuan sama-sama berhak untuk mengajukan perceraian. (mkf)


Terkait