Tragedi Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, 1 Juni lalu, tampaknya benar-benar merupakan kejadian yang mengundang reaksi kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Dua Pengurus Cabang Istimewa NU di mancanegara, yakni, Jepang dan Australia-Selandia Baru, pun bereaksi atas kekerasan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) itu.
Ketua Tanfidziyah PCINU Jepang, Rizqi Indrawan, menyatakan mengutuk segala tindak kekerasan dan penyerangan brutal yang dilakukan massa beratribut FPI terhadap aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).<>
“Padahal, di dalamnya termasuk perempuan dan anak-anak yang sedang melakukan aksi damai memperingati hari kelahiran Pancasila,” ungkap Rizqi di kantor PCINU Jepang, di Tokyo, melalui siarang pers yang dikirim kepada NU Online, Selasa (3/6).
Selain mendesak aparat kepolisian untuk segera bertindak tegas terhadap pelaku penyerangan itu, Rizqi juga menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tidak membalas aksi kekerasan FPI itu dengan tindakan serupa. Menurutnya, penyelesaian dengan cara dialog akan lebih bermanfaat dan tidak justru menambah masalah.
Rais Syuriyah PCINU Australia-Selandia Baru, Dr Nadirsyah Hosen, mengatakan hal senada. Ia menyesalkan perilaku Panglima Komando Laskar Islam, Munarman, yang merupakan salah satu aktor dalam penyerangan itu.
“Munarman yang pernah menjadi ketua YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) dan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), sekarang malah menyuburkan kekerasan dan memberangus perbedaan dengan pentungan. Semua logika hukum dijungkirbalikkannya,” terang Nadirsyah.
Di sisi lain, lanjutnya, Ketua FPI Habib Riziq Shihah, perilakunya justru tak mencerminkan seorang pemimpin organisasi kemasyarakatan Islam. Apalagi, Habib Riziq juga seorang keturunan Nabi Muhammad yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai Islam yang cita damai.
“Kini, sang Habib malah sibuk memerintahkan pengikutnya untuk mementungi orang Islam sendiri, pengikut sang Kakek (baca: Nabi Muhammad),” tandas Nadirsyah yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Wolongong, Australia, itu.
Menurutnya, bangsa Indonesia kini tengah menyaksikan perilaku sekelompok orang layaknya manusia purba yang mengandalkan kekerasan untuk mempertahankan hidupnya.
“Ketika manusia lebih aman tinggal di gua-gua sempit, sesempit pikiran aparat hukum yang membiarkan semua perilaku biadab di depan mereka. Lebih celaka lagi, semua itu dbarengi dengan teriakkan ayat suci,” pungkas Nadirsyah. (rif)