Warta

NU Memungkinkan Menjadi Orang Islam Indonesia

Selasa, 13 Mei 2008 | 05:07 WIB

Jakarta, NU Online
Bagi siapapun pemangku kebudayaan Jawa, kebudayaan itu tentu tetap melekat sedemikian kuat, sehingga apapun agamanya, kejawaan itu tidak akan lenyap begitu saja. Begitu juga pengalaman yang diperoleh seorang aktivis kebudayaan, Slamet Rahardjo Djarot, dalam memahami keislaman. Ketika Islam modern mulai giat disiarkan di Indonesia, ia menentang warisan-warisan kebudayaan Jawa seperti slametan, tahlilan, ziarah kubur dan sebagainya yang dituduh sebagai takahyul, bid'ah dan churafat yang disingkat dengan (TBC) yang diasosiasikan dengan penyakit rakyat yang berbahaya.

Hinaan semacam itu dialami oleh keluarga Djarot di Yogyakarta yang semua lingkungannya adalah pengikut Muhammadiyah Islam modirnis kearaban. Sementara keluarganya menganut Islam ahlussunnah ala NU yang bernuansa kejawen. Keluarganya ini dianggap orang berpenyakit TBC, sehingga setiap kali bertemu dengan tetanggaanya selalu ditanya apakah sudah sembuh TBC-nya.

<>

Walaupun penghinaan begitu gencar bahkan terus dilakukan hingga sekarang, komitmen Slamet dan seluruh keluarga besar Djarot untuk tetap mengamalkan tradisi-tradisi NU tidak bergeser. Karena tradisi-tradisi itu dinilainya bukan hanya menyangkut soal doktrin tetapi juga soal rasa.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

"Bagaiman mungkin saya membiarkan kakek saya yang saya cintai meninggal dengan membiarkan begitu saja, tanpa saya mendoakan, sebagai ungkapan rasa hormat, rasa haru, rasa cinta terhadap beliau. Tetapi ini dianggap musyrik, padahal dalam doa dan zikir saya saya tidak menyebut nama kakek, melainkan menyebut asma Allah dan asma Nabi. Di mana letak musyriknya, karena itu saya tetap melaksanakan amalan peninggalan nenek moyang saya," kata Slamet belum lama ini.

"Kebetulan amalan itu direstui dan dianggap amalan yang soleh oleh NU, maka keluarga saya bisa melakasanakan ajaran dan falsafah jawa karena mengikuti tradisi NU. Dengan mengikuti tradisi NU Islam saya bisa sesuai dengan kultur Indonesia dan kultur Jawa khususnya. Bukan kultur Arab. Kita berislam cukup dengan syahadat dan menjalankan rukun Iman dan Islam. Selebihnya kita cari dan kembangkan dalam lingkungan alam dan tradisi sendiri, tidak harus menjadi Arab," tambah cucu kiai Sudjak, tokoh NU Yogyakarta generasi Kiai Hasyi Asy’ari itu.

Menurutnya, kita perlu belajar dari kearifan tradisi sendiri, sehingga keberagamaan kita bisa lebih mendalam, lebih tepat dan lebih ramah. "Kalau kita sudah terpola oleh tradisi Arab ada kecenderungan akan melenyapkan semua yang berbau non Arab yang dianggap bid’ah dan tidak Islami. Memang dalam kultur Arab ada kecenderungan hegemonic. Perilaku ini yang akan mendangkalkan keberagamaan kita."

Actor dan sutradara terkenal ini mengatakan, kita berislam tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan kita, derngan mencari kesempurnaan hidup. (dz)

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Terkait