Warta

NU-Muhamadiyah Tolak Formalisme Islam

Rabu, 21 Juni 2006 | 13:05 WIB

Sepakat Berantas Kekerasan atas Nama Agama

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah kompak menolak formalisme Islam, sebagaimana wacana tersebut mengemuka belakangan ini. Bagi dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di itu, perjuangan untuk meningkatkan kesejahtaeraan umat tidak perlu melalui formalisasi ajaran dalam hukum negara.

Sikap kompak tersebut diungkapkan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi dan Ketua Umum PP Muhamadiyah, Din Syamsuddin dalam jumpa pers di sela-sela Konferensi Internasional Cendekiawan Muslim (International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta, Rabu (21/6).

ADVERTISEMENT BY OPTAD

<>

Menurut Din, demikian ia akrab disapa, persolan formalisme Islam saat ini telah menjadi polemik dalam masyarakat, terutama di dunia politik. Ia mengaku lebih memilih subtansi ajaran Islam itu sendiri dari pada formalismenya. ”Tentu kalau kalau saya pribadi memilih subtantivisme, yakni penekanan pada substansi atau nilai-nilai Islam untuk memperjungkan kesejahteraan, kemajuan dan keunggulan umat Islam,” katanya.

Meski menolak, Din sangat menghargai kelompok yang memperjuangkan formalisme Islam. Baginya, setiap orang berhak untuk berpendapat dan mengemukaan pandangan, asalkan masih berada dalam koridor demokrasi. ”Kalau ada di antara umat Islam ada yang menekankan formalisme keislaman terutama dalam politik itu adalah hak mereka.  Selama itu masih dalam koridor demokrasi dan konstitusi,” ungkapnya.

Menangapi pertanyaan wartawan soal dikait-kaitkannya Islam dengan kekerasan, Din mengatakan, tindakan teror atas nama Islam adalah bentuk penyalahgunaan Islam. Karena Islam, menurutnya, sebenarnya sangat menekankan kasih sayang kepada umatnya. Karena itu, tidak ada alasan yang dapat dibenarkan mengaitkan aksi terorisme dan kekerasan dengan Islam.

“Saya menilai, para teroris yang membawa-bawa Islam itu, selain melakukan penyalahgunaan Islam, juga mereka adalah orang-orang yang tidak sabar dan berputus asa dalam berjihad dan berdakwah. Ini menjadi tugas lembaga-lembaga Islam terutama lewat pendidikan,” tuturnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Untuk memecahkan masalah tersebut, katanya, tidak hanya ulama, ormas Islam juga harus berperan, tapi harus ada ruang dan sistem yang mendukung membenarkan pemahaman kegamaan yang sempit itu. ”Juga harus disediakan ruang dan sistem yang mendukung itu. Maka, memberantas terorisme, selain membenarkan pemahaman keagaaman, juga harus memperbaiki sistem,” paparnya.

Kekerasan dan terorisme, kata Din, tidak akan bisa diberantas selama masih terjadi ketidakadilan dan kekerasan. Pada dasarnya kekerasan yang terjadi, katanya, muncul karena kedzaliman dan ketidakadilan. ”Selama ada ketidakadilan, apalagi keadilan global. Ada kedzaliman, ada kemiskinan, maka saya yakin terorisme dan kekerasan itu akan muncul. Memberantas terorisme dengan cara teror itu sendiri, seperti war on terror di Irak, , itu justru memperkuat radikalisasi, terorisme, dan ekstrimisme di kalangan Islam,” katanya.

Sementara itu, Hasyim mengatakan, penggunaan agama untuk kekerasan dan tuduhan agama telah melakukan kekerasan, baru terjadi belakangan ini. Sebab, sebelum tragedi WTC di Amerika, masalah itu tidak ada. ”Persisnya lima tahun lah. Sebab, Sebelumnya tidak ada apa-apa,” jelas mantan Ketua PWNU Jawa Timur ini.

Hasyim mengatakan, tidak semua kekerasan berdasarkan pada agama. Karena kekerasan kadang muncul karena situasi di luar agama. Untuk menghadapi masalah itu harus dilakukan dua pendekatan pada dua pihak, yaitu, pihak kelompok Islam sendiri dan pihak luar Islam. ”Yang dari Islam sendiri itu, tentu pertama kali harus ditertibkan, how cara memahami agama. Harus melalui keilmuan, harus melalui faith of thinking, tidak boleh ditafsirkan semaunya yang mengakibatkan diperlakukan semaunya,” jelasnya.

NU dan Muhammadiyah, kata Hasyim, diharapkan mampu menghadapi radikalisme dan juga liberalisme yang terjadi akhir-akhir ini. Dikatakannya, radikalisme tidak hanya berupa tindakan, tapi juga ungkapan.

”Cuma biasanya yang disebut kekerasan itu yang memecahkan kaca. Omongannya yang keras, dianggap demokrasi. Padahal hakikat yang ditimbulkan itu belum tentu mana yang lebih besar. Kalau melempari kaca satu meter persegi itu berapa?Tapi kl membongkar sebuah pardigma agama, berapa yang dikorbankan. Karena itu, saya nanti minta juga melalui ICIS itu, kita akan menangani masalah-masalah ,” tuturnya. (rif)


Terkait