Warta

Paska MoU, Syariat Islam di NAD Mengkhawatirkan

Kamis, 18 Agustus 2005 | 06:55 WIB

Jakarta, NU Online
Keberlangsungan Syariat Islam di NAD paska MOU Helsinki sungguh mengkhawatirkan, karena dasar hukum yang digunakan mengacu pada hasil perjanjian tersebut yang sekuler.

Demikian diungkapkan Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi usai berdialog dengan kelompok Islam garis keras, Senin (16/8) di gedung PBNU, terkait beberapa pasal dari perjanjian MoU Helsinki yang dianggap dapat menimbulkan rusaknya syariat Islam yang sudah berlangsung di Aceh.

<>

Menurut Hasyim, Aceh itu ada dua, ada Aceh di Aceh dan ada Aceh di luar negeri. Aceh yang diluar negeri itu non syariah, mereka sekuler murni. Mereka hanya ingin Aceh merdeka, tidak ingin syariat. "Yang ingin syariat itu adalah Mejelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Jadi GAM yang di Helsinki itu sama sekali sekuler, nah mereka juga tidak perduli terhadap tegaknya syariat Islam," tandasnya.

Kondisi ini, lanjut mantan Capres dari PDIP diperparah dengan kondisi tata pemerintahan di NAD yang tidak mendukung terlaksanannya syariat Islam, baik dari segi pesantrennya, dakwahnya, dan pengembanangan agamanya. "Ada Mahkamah Syariah, tetapi tidak jalan karena tidak ada polisi syariah, tidak ada jaksa syariah. Ini yang syariah, apalagi domain yang dipakai sekarang adalah domain hasil kesepakatan Helsinki," papar Hasyim.

Ditambah kondisi sosial di NAD saat ini, dimana banyaknya LSM yang masuk, sehingga di NAD yang paling banyak saat ini warung dan kafe. Karena banyaknya orang masuk kesana sehingga menjadi tempat orang untuk mencari penghidupan. Sementara kita lihat pesantrennya habis karena tsunami.

"Jadi ada pembongkaran teritori, aqidah dan budaya plus melewati proses demokratisasi politik dan ini berlangsung sekaligus. Saya ngeri membaca Aceh Monitoring Mission (AMM), dimana dia diberi wewenang untuk menyelesaikan konflik tanpa dicampuri, itu gimana ? Kalau begitu, maka itu sudah menjadi internasionalisasi persoalan Aceh. Saya tidak tahu kenapa ini semua terjadi ?," tanyanya.

Apalagi kondisi global saat ini ditengah benturan liberalitas, sekulerisme, pluralisme. Bangsa Indonesia tidak lagi diserang secara fisik, maka digunakan penyerangan secara ideologi, politik, dan ekonomi. Kalau tidak dicermati dengan baik umat Islam bisa masuk dalam pertarungan yang diciptakan kelompok luar yang dapat memecah belah diantara kita.

Karena ini Hasyim meminta kepada kelompok Islam garis keras dalam memperjuangkan idealismenya harus memahami persoalan secara komprehensif. "Kalau ini tidak diwaspadai dengan baik, kita tidak bisa selamat dalam pertarungan ini," imbuh Hasyim dihadapan kelompok Islam garis keras. (cih)

 


Terkait