Warta

PBNU Berharap Pelaksanaan Syariah Tak Hanya Simbolis

Jumat, 20 Januari 2006 | 13:23 WIB

Banda Aceh, NU Online
Ketua Umum PBNU mengharapkan agar palaksanaan syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam tak hanya berupa simbol-simbol saja seperti kewajiban berjilbab atau hukum cambuk. Menurutnya yang lebih penting adalah pelaksanan substansi dari ajaran Islam seperti menumbuhkan masyarakat yang adil, sejahtara dan humanis.

”Kalau Islam tak menghasilkan apa-apa, Islam menjadi tidak produktif, bagaimana mengembangkan ekonomi, mensejahterakan masyarakat.” tandasnya ketika berdialog dengan pejabat Gubernur NAD Mustofa Abubakar di Banda Aceh, Rabu malam.

<>

Rombongan PBNU yang terdiri dari KH Hasyim Muzadi, HM Rozy Munir, Sirojul Munir, dan Yus Sakdiyah dari Muslimat NU berkunjung ke Aceh dalam rangka pembukaan pelatihan peningkatan ketrampilan untuk guru-guru SMK dan pengayaan materi Matematika dan Fisika yang diselenggarakan oleh LP Maarif NU.

Mustofa juga menyatakan bahwa para ulama di Aceh merasa prihatin bahwa pelaksanaan syariat Islam di NAD masih sebatas simbol. ”Karena itu kami meminta agar perumusan syariat Islam bukan hanya oleh orang Aceh saja, tetapi melibatkan umat Islam secara nasional,” tandasnya.

Hasyim mengingatkan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat ini menjadi pertaruhan karena jika sampai gagal, maka akan menjadi alasan bagi fihak lain untuk menolaknya.

”Ini pertarungan umat Islam di NAD, Bagaimana memindahkan fikih menjadi aturan, ini harus ada ahlinya, harus ada ilmunya. Pemerintah RI sudah memberikan kesempatan pensyariatan disini. Jika gagal, maka sesungguhnya bukan hanya Aceh, tetapi umat Islam yang gagal,” tuturnya.

Selama ini dari pengamatannya ketika berkunjung pada negara-negara yang menggunakan syariat Islam, banyak diantaranya yang perlu direnungkan. Di Pakistan, setiap hari selalu ada orang yang saling bunuh sesama Muslim, Di Sudan, kemiskinan dan kelaparan dimana-mana, Aljazair selalu tidak pernah aman, ke Saudi aman karena ada Makkah dan Madinah, Mesir yang pendapat tentang Islam beragam.

”Saya juga datang ke pusat agama Katolik di Roma, berdialog dengan mereka, juga dengan agama Kristen di Jenewa. Ini memperkuat keyakinan kita bahwa apa yang kita bawa adalah kebenaran, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana membawakannya. Inilah harapan kita,” tandasnya.

Ditambahkannya bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara kondisi d Arab yang mana tradisinya sudah Islami dengan di Indonesia yang sangat plural. ”Di Arab, terdapat 32 negara dengan satu budaya sedangkan di Indonesia terdapat 220 etnis dalam 1 negara,” tuturnya.(mkf)


Terkait