Jakarta, NU Online
Di Indonesia jumlah korban meninggal dunia akibat terinfeksi flu burung (Avian Influenza/AI) termasuk tinggi. Sejak kasus flu burung merebak di Indonesia hingga sekarang sudah merenggut 63 jiwa dan sebagian besar adalah anak-anak. Tingginya angka tersebut dikarenakan lemahnya koordinasi dalam penanganannya.
Demikian disampaikan Dr dr Paulus Januar saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Bisnis dan Politik Kesehatan di Indonesia” yang digelar NU Online di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (21/2)
<>Indonesia merupakan negara paling parah terserang penyakit mematikan yang disebabkan virus H5N1 itu. Jumlah korban meninggal di Indonesia ini merupakan yang tertinggi di dunia. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), total 116 orang meninggal akibat flu burung di seluruh dunia sejak 2003 dan 272 telah terinfeksi
Menurut Paulus—begitu panggilan akrabnya—jika pemerintah Indonesia memiliki sistem koordinasi yang baik dalam penanganan virus yang telah mewabah ke seluruh dunia itu, tentu jumlah korbannya dapat ditekan. “Kalau dikoordinasikan dengan baik, maka tak akan sebanyak itu korbannya,” pungkasnya.
Paulus yang juga mantan aktivis Forum Demokrasi (Fordem) itu mencontohkan keberhasilan penanganan flu burung di sejumlah negara, seperti Thailand dan Jerman. Di kedua negara itu, karena memiliki sistem koordinasi yang rapi, maka penyebaran virus mematikan tersebut dapat dibatasi. Sehingga jumlah korban pun dapat ditekan.
“Di Jerman, kalau ditemukan korban yang teridentifikasi terinfeksi flu burung, nggak banyak ribut. Radius satu kilometer dari tempat kejadian, semua unggas yang ada langsung dimusnahkan dan langsung diberikan ganti ruginya. Begitu juga di Thailand,” terang Paulus yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Paulus menjawab kecurigaan sejumlah kalangan yang mensinyalir bahwa virus flu burung tersebut memang sengaja diciptakan oleh negara-negara maju demi memenuhi kepentingan pasar. Menurutnya, virus tersebut memang murni keberadaannya sebagai sebuah wabah penyakit.
Migrasi unggas atau burung dari satu negara ke negara lain merupakan salah satu jalan mudah bagi penyebaran virus tersebut. Ditambah lagi sifat virus H5N1 itu mudah sekali berubah bentuk (mutasi genetika). Sehingga, lanjutnya, sangat memungkinkan perkembangannya tidak saja di tubuh unggas, melainkan juga pada manusia.
Namun demikian, ia tak membantah jika terdapat kelompok-kelompok bisnis tertentu yang sengaja ‘memanfaatkan’ keberadaan virus mematikan tersebut demi kepentingan ekonomis semata. “Itu (flu burung, Red) memang murni penyakit. Tapi kapitalis-kapitalis dunia pasti akan memanfaatkan kondisi tersebut. Misalkan dengan menawarkan vaksinnya ke negara-negara yang terserang flu burung,” jelasnya.
Ditambahkan Paulus, hal yang sama juga terjadi pada virus atau penyakit mematikan lainnya. “Tidak hanya flu burung, AIDS, malaria, demam berdarah dan sebagainya bisa dibisniskan,” katanya.
Ia menilai, dunia kesehatan saat ini, termasuk di Indonesia, cukup sulit dibedakan antara kesehatan untuk tujuan kemanusiaan dan kepentingan ekonomi pasar. Menurutnya, bisnis obat antara perusahaan obat-obatan dengan penyelenggara layanan kesehatan sudah bukan rahasia lagi.
“Misal, seorang dokter membuat resep untuk pasiennya di mana obatnya adalah produk salah satu perusahaan obat tertentu. Dengan resep itu, nanti si dokter akan mendapatkan bonus dari resep yang ia buat. Itu sudah menjadi rahasia umum,” ungkap Paulus. (rif)