Jakarta, NU Online
Salah satu di antara banyak persoalan besar yang sedang dihadapi Nahdlatul Ulama (NU) saat ini adalah pengkaderan. Meski berjalan, namun proses pengkaderan tersebut belum mampu menumbuhkan militansi kader. Akibatnya, cukup sulit menemukan kader yang bersedia memperjuangkan NU dengan tulus.
Demikian diungkapkan Ketua Umum Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Munim Dz dalam diskusi yang digelar Pengurus Pusat (PP) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU di Kantor NU Online, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jum’at (8/12)
<>“Kalau mencari kader NU yang berpendidikan tinggi, sudah banyak. Setidaknya S-1 (strata). Cari kader NU yang pintar nulis, sudah lewat itu. Problemnya sekarang adalah militansi. Susah mendapatkan kader yang benar-benar militan,” kata Munim, begitu panggilan akrab pria yang juga Pemimpin Redaksi NU Online itu.
Dalam diskusi yang diikuti beberapa petinggi PBNU (syuriah-tanfidziyah) dan sejumlah aktifis NU dari badan otonom, lembaga maupun lajnah itu, Munim mengungkapkan, sikap terlalu terbuka kader NU terhadap ideologi dan pemikiran dari luar adalah salah satu sebab munculnya fenomena tersebut.
“Keterbukaan yang terlalu terbuka kader NU merupakan salah satu sebab lunturnya militansi. Hingga akhirnya, mereka seolah-olah kalau mau bergerak, takut menyalahi prinsip demokrasi, pluralisme,” terangnya.
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Taufiq R Abdullah membenarkan fenomena lunturnya militansi kader itu. Hal itu, katanya, membuat NU saat ini dalam keadaan sangat terancam eksistensinya. Kemunculan kelompok maupun gerakan Islam garis keras yang marak belakangan ini, merupakan faktor luar yang turut menciptakan kondisi tersebut.
Karenanya, lanjut Taufiq, untuk menumbuhkan semangat dan militansi kader, salah satu caranya, NU harus mampu memberikan pemahaman kepada kadernya atas ancaman tersebut. “Berikan pemahaman bahwa mereka (kelompok Islam garis keras) merupakan ancaman bagi kita. Bahwa, misalkan, masjid-masjid dan aset kita yang lain telah dikuasai oleh kelompok Islam radikal itu,” ujarnya.
Menurut, metode itu cukup efektif. Karena, dalam sejarahnya, awal mula kebangkitan NU di periode pertama era 1900-an, merupakan reaksi terhadap gerakan Islam Wahabi yang cukup masif di Indonesia. “NU kan muncul sebagai reaksi atas gerakan Islam Wahabi yang waktu itu sangat kuat dan sistematis,” tandasnya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Disadarinya, organisasi berbasis santri dan pelajar NU yang ia pimpin belum mampu menciptakan kader yang militan. “Kalau cuma ‘memproduksi’ kader, bisa. Tapi kader yang militan, itu yang sulit. Kita belum mampu,” ungkapnya.
Padahal, tambah Idy, IPNU diharapkan menjadi garda paling depan dalam bidang pengkaderan di NU. Kalaupun ada kader yang militan, menurutnya, hal itu belum cukup layak untuk disebut hasil pengkaderan NU. “Belum muncul gharizah nahdliyyah,” pungkasnya. (rif)