Warta

Perubahan Hari Wuquf Sempat Mengagetkan

Jumat, 14 Desember 2007 | 22:03 WIB

Jakarta, NU Online
Keputusan Dewan Kerajan Arab Saudi menetapkan hari Wukuf di Arafah 9 Dzulhijjah 1428 H Selasa 18 Desember 2007 sempat mengagetkan beberapa instansi terkait di Saudi Arabia. Semua jadwal penerbangan di sana, misalnya, harus diubah.

Sementara dii Indonesia, dalam sidang itsbat penetapan awal bulan Dzulhijjah 1428 H Departemen Agama bersama organisasi Islam di Indonesia, Rabu (12/12), para pakar astronomi sempat menunjukkan sejumlah data mengenai posisi bulan di Saudi Arabia. Di Saudi Arabia pada tanggal 9 Desember 2007 bulan terbenam terlebih dahulu sebelum Matahari sehingga semestinya hilal belum bisa dilihat atau dirukyat, dan keesokan harinya belum masuk tanggal baru.

<>

Harian Al-Watan edisi Kamis (13/12), menyatakan, kekecauan itu terjadi di Saudi Arabiyah karena pergeseran hari wukuf itu. Sebab, kalender Universitas Ummul Quran Mekah yang menjadi acuan warga Arab Saudi menetapkan hari wukuf hari Rabu, 19 Desember dan Idul Adha 20 Desember.

Nashir Ad-Dakhil, manajer Saudia di Riyadh menyatakan bahwa pihaknya harus bisa mengatasi ledakan jumlah penumpang dari Riyadh menuju Jeddah dan Taif untuk jemaah haji tahun ini. padahal setiap hari hampir sekitar 3.000 penumpang diberangkatkan menuju Jeddah untuk tujuan haji.

Ummul Qura membuat kalender berdasarkan perhitungan hisab atau perhitungan astronomis, sementara Dewan Kerajaan Arab Saudi menegaskan bahwa keputusan kerajaan berdasarkan rukyat dan mengabaikan metode hisab manapun.

Sementara itu, di Indonesia dalam sidang itsbat penetapan awal bulan Dzulhijjah 1428 H Departemen Agama para pakar astronomi menunjukkan sejumlah data mengenai validitas rukyatul hilal di Saudi. Cecep Nurwenda dari Planetarium dan Observatorium Jakarta, berdasarkan data astronomi modern, pada 9 Desember di Saudi Arabia, bulan terbenam sekitar 22 menit 35 detik sebelum terbenam matahari (ghurub).

Sementara hilal berada pada posisi negatif sekitar -4026'. Dengan demikian hilal atau bulan sabit pada Ahad petang di Saudi Arabia tidak mungkin terlihat atau para ahli falakiyah menyebutnya tidak memenuhi persyaratan imkanur rukyat, tidak mungkin dirukyat.
 
Namun Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH Ghazali Masroeri menegaskan, betapapun perhitungan astronomis atau hisab hanyalah perkiraan dan harus dibuktikan dengan rukyatul hilal. Penetapan awal bulan Dzulhijjah di Saudi Arabia, kata Kiai Ghazali, sudah memenuhi persyaratan rukyatul hilal itu, meski rawan kritik.

Penetawan awal Dzulhijjah 1428 H tahun lalu, lanjutnya, juga mendapatkan kritikan banyak pakar fakiyah. Dikatakan, dari sisi keilmuan dalam hal ini ilmu falakiyah, tahun lalu tidak terjadi Haji Akbar, wuquf di Arafah semestinya tidak jatuh pada hari Jum'at. Kasusnya hampir mirip dengan yang terjadi tahun ini.

"Tapi itu terserah kebijakan Saudi. Biasanya juga begitu, kalau tidak sama ya lebih dulu sana satu hari," kata Kiai Ghazali.

Menurut Kiai Ghazali, untuk Indonesia, penetapan awal bulan Hijriyah tidak harus mengikuti wilayah Saudi Arabia, semata-mata karena perbedaan wilayah geografis, atau faktor beda matla'. Di Indonesia, rukyat yang diadakan oleh Lajnah Falakiyah pada Ahad petang di sedikitnya 35 titik rukyat belum bisa melihat hilal.

Soal faktor beda matla' itu, menurut Kiai Ghazali, NU berdasar pada hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Kuraib yang ditakhrij oleh Imam Muslim, bahwa Ibnu Abbas yang tinggal di Madinah menolak berpegang pada rukyat penduduk Syam kendati telah diisbat oleh khalifah Mu'awiyah. Ibnu Abbas mengatakan bahwa "Hakadza Amarana Rasulullah" (Begitulah Rasulullah menyuruh kami).

Hadits itu yang kemudian dipakai oleh Imam Syafi'i untuk memunculkan teori ikhtilaf al-Matali’, bahwa rukyat di suatu kawasan, tidak dapat diberlakukan untuk seluruh dunia. (nam)


Terkait