Warta

Rozy Munir : Perlu Gerakan Bersama Atasi Trafficking

Kamis, 7 September 2006 | 12:50 WIB

Jakarta, NU Online
Meskipun perdagangan manusia atau trafficking yang sudah banyak menelan korban wanita dan anak-anak terus berjatuhan, namun perhatian terhadap masalah ini belum terlalu serius. Lembaga pemerintah dan ormas belum bersatu padu untuk melakukan gerakan anti trafficking. Ini menyebabkan hasil yang dicapai belum bisa maksimal.

Ketua Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) HM Rozy Munir berpendapat bahwa trafficking sudah menjadi masalah serius layaknya Narkoba, korupsi atau penjualan senjata illegal. Dengan demikian, seharusnya penyelesaian yang dilakukan harus maksimal.

<>“Seharusnya pemerintah membentuk lembaga khusus yang langsung bertanggung jawab kepada presiden untuk mengatasi masalah trafficking,” tandasnya disela-sela acara seminar dan launching of state of world population tahun 2006 di Jakarta, Kamis.

Dikatakannya bahwa banyak lembaga dan departemen yang terkait dengan masalah trafficking, namun sejauh ini koordinasi antara mereka seperti seperti kementerian pemberdayaan perempuan, Menakretrans dan Depsos tidak kelihatan bersama satu tujuan yang utuh untuk solusi bersama.

Untuk itu ia mengusulkan agar lembaga khusus tersebut bisa meniru Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mengatasi masalah penyelundupan Narkoba. Lembaga ini melakukan koordinasi antar departemen pemerintah sehingga bisa merespon permasalahan dengan cepat.
 
Rozy yang juga salah satu ketua PBNU tersebut juga menyatakan bahwa PBNU saat ini sudah membuat fatwa bahwa trafficking hukumnya haram. Guna memperkuat gerakan dari masyarakat, ia mengharap agar institusi lain melakukan hal serupa dengan caranya sendiri. “Media juga diharapkan juga mengungkap hal yang sama karena suara mereka akan masuk ke decision maker. Kalau disuarakan terus menerus, nanti lama-lama kan malu juga,” tambahnya.

Dosen UI tersebut berpendapat bahwa penyebab utama masyarakat berkeinginan untuk bekerja di luar negeri adalah pengangguran dan kemiskinan yang melanda Indonesia. Kondisi ini membuat banyak penduduk, terutama perempuan yang tertarik janji-janji manis yang ditawarkan oleh para calo seperti kerja ringan dengan upah tinggi atau kerja sekaligus bisa melakukan haji atau umroh.

Mantan menteri BUMN era Gus Dur tersebut juga mengungkapkan bahwa motif lainnya adalah keinginan menjalani kehidupan yang wah di luar negari seperti yang dilihat di TV. Namun ternyata banyak impian yang tak sesuai kenyataan.

Ahli kependudukan lulusan University of Hawai tersebut berharap agar pemerintah memberi pehatian pada buruh migran seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Philipina yang mendukung betul mulai dari pelatihan sampai dengan penyediaan atase perburuhan di tiap negara tujuan.

Dengan dukungan yang maksimal, nasib buruh migran Philipina jauh lebih baik. Mereka menjadi tenaga semi terlatih atau terlatih seperti perawat, pramugari, pelayan di shopping centre karena kemampuan bahasanya memadai. Bahkan mereka juga mengirimkan dokter. Sementara itu, Indonesia hanya mengirimkan tenaga kerja tak terlatih untuk pekerjaan rumah tangga dan bersaing dengan negara-negara seperti Bangladesh.

“PJTKI hanya memberi pelatihan sekedarnya sehingga sesampai disana bengong, ada shock culture, untung kalau dapat majikan bagus, ia diajari, tapi kalau dapat yang jelek ditendang. Atase tenaga kerja dan pengacara yang siap membela juga terbatas sehingga sering ada masalah bagi buruh migran Indonesia,” tandasnya. (mkf)


Terkait