Warta

Sejak 1990-an, Sudah 3 Kali Beda Idul Fitri

Rabu, 18 Oktober 2006 | 08:54 WIB

Jakarta, NU Online
Perbedaan penetapan awal Idul Fitri tampaknya tak dapat dihindari karena adanya perbedaan metodologi yang dikembangkan. Pemerintah dan NU menggunakan metode imkanurrukyat sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab wujudul hilal.

Tahun ini, Muhammadiyah telah menetapkan Idul Fitri jatuh pada 23 Oktober 2006 sedangkan NU masih menunggu hasil ru’yah yang akan dilaksanakan pada 22 Oktober mendatang sehingga bisa jadi Lebaran berbarengan, tapi bisa juga berbeda jika hilal tak terlihat saat ru’yah karena puasa harus disempurnakan 30 hari.

<>

Meskipun sama-sama menggunakan metode hisab Muhammadiyah dan Persis juga berbeda dalam penetapan Idul Fitri. Muhammadiyah berpedoman pada keberadaan hilal diatas ufuk, meskipun baru sebagian wilayah Indonesia Barat dan Indonesia tengah, Idul Fitri sudah bisa ditetapkan. Sementara itu Persis berpedoman bahwa hilal harus sudah berada di atas ufuk di seluruh wilayah Indonesia sehingga Idul Fitri ditetapkan pada Selasa (24/10).

Berdasarkan catatan sejarah, sejak tahun 1990-an, sudah terjadi tiga kali perbedaan penetapan Idul Fitri, Pertama, tahun 1992 (1412 H) ketika itu sebagian masyarakat berhari raya pada Jum’at (3/4) dengan mengikuti Makkah sedangkan NU berhari raya Sabtu (4/4) sesuai dengan hasil ru’yah dan ada pula yang berlebaran pada Minggu (5/4) berdasarkan hisab. Tahun 1993 (1413 H) dan 1994 (1414 H) juga terjadi perbedaan penetapan 1 Syawal karena perbedaan antara ru’yah dan hisab ini.

Perbedaan tersebut bukan saja terjadi untuk hari raya Idul Fitri, tetapi juga pada hari raya Idul Adha tahun 2000. Kala itu pemerintah menetapkan Idul Adha jatuh pada 16 Maret 2000 sedangkan PBNU menetapkan pada 17 Maret 2000.

Awal puasa juga menjadi bagian dari khilafiyah ketika memulai Ramadhan 1422 H atau tahun 2001. Muhammadiyah menetapkan awal puasa jatuh pada Jum’at 16 November dan sudah sholat tarawih pada Kamis malam, 15 November. Sementara itu pemerintah dan  NU berdasarkan hisab imkanurruyah menetapkan puasa pada Sabtu, 17 November.

Lalu bagaimana mensikapi perbedaan penetapan Idul Fitri ini, Ketua Pimpinan Wilayah Lajnah Falakiyah PWNU Jateng Ahmad Izzuddin MAg berpendapat bahwa ketetapan hakim atau pemerintah bersifat mengikat dan bisa menghilangkan perbedaan, namun kalau tetap terjadi perbedaan maka perlu dikembangkan sikap tasamuh, saling menghormati dan menghargai.

''Soal mau pakai yang mana, terpulang pada keyakinan dan kemantapan masing-masing. Kalau ikut yang Senin, berarti hari itu haram berpuasa dan wajib iftar (membatalkan puasa. Kalau ikut Selasa, berarti hari Senin wajib berpuasa Ramadhan. Yang terpenting, saya kira, bagaimana menumbuhkan sikap memahami dan menumbuhkan toleransi dalam rangka ittifaq fil ikhtilaf, tetap satu dalam perbedaan.(sm/mkf)