Jakarta, NU Online
Stigma komunis (yang identik dengan atheis; anti-Tuhan) yang selalu dilekatkan pada diri Pramoedya Ananta Toer nampaknya sedikit terbantahkan. Lantunan sholawat dan sahadat pada prosesi pemakaman sastrawan besar milik bangsa Indonesia ini cukup menjadi bukti bahwa ia bukanlah seorang komunis.
Demikian diungkapkan Sekretaris Jenderal Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Muhammad Dienaldo kepada NU Online, di Jakarta, Minggu (30/4).
<>“Kematiannya dihantar dengan sholawat dan sahadat. Itu bukti kalau stigma bahwa dia (Pramoedya, red) komunis salah,” kata Dienaldo.
Pramoedya, menurut Dienaldo, telah mengabdikan dirinya kepada bangsa Indonesia. Namun, tidak begitu sebaliknya. Stigma komunis itu masih terus dilekatkan pada diri mantan aktivis Lekra (lembaga kesenian di bawah PKI) hingga akhir hayatnya.
“Pram telah memberikan hidupnya untuk bangsa Indonesia. Tapi apa yang diberikan Indonesia untuk dia, kecuali stigma dan penindasan. Sebuah kepicikan berpikir jika masih masih menstigmakan Pram dengan komunisme,” terang Dienaldo.
Pengabdian Pram terhadap bangsa Indonesia selama ini, kata Dienaldo, tidak membawa kepentingan dan ideologi apapun, kecuali atas nama cinta terhadap kemanusiaan. “Pram telah berbuat banyak untuk Indonesia, tidak atas nama ideologi apa-apa selain atas nama cinta terhadap kemanusiaan dan Indonesia,” ungkapnya.
Stigma yang cukup kuat itu, kata Dienaldo, juga tak lepas dari peran media massa selama ini. Lantunan lagu Internasionale (lagu kaum komunis sedunia) yang mengiringi pemberangkatan jenazah Pram ke pemakaman, Minggu (30/4), oleh media massa seakan dijadikan pembenar bahwa Pram adalah seorang komunis atau bagian dari.
Hal itu, menurutnya sebuah perlakuan tidak adil kepada diri seorang Pram. “Pers telah ’membunuh’ Pram untuk kedua kalinya dengan cap komunis. Padahal lagu Internasionale itu tidak dinyanyikan atas dasar inisiatif pihak keluarga atau orang-orang dekat Pram,“ katanya. (rif)