Warta

Sekjen Lesbumi: RUU APP Sebagai Sarana Pemberadaban

Selasa, 11 April 2006 | 13:01 WIB

Jakarta, NU Online
Persetujuan PBNU terhadap Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) itu mendapat sorotan tajam dari kelompok pluralis pro-demokrasi. Hal itu membuat kalangan muda NU risau. Menurut Sekjen Lesbumi M Dienaldo, hal itu tidak perlu terjadi, sebab dalam kenyataannya RUU itu banyak disalahpahami, bahkan ditafsirkan terlalu jauh di luar konteksnya. Penerimaan PBNU terhadap RUU tersebut, kata Dinal sudah tepat, sebab agama manapun akan bersikap demikian.

Kepada NU Online, Dinal mengatakan bahwa kalangan muda NU tidak perlu risau dengan kerisauan orang, karena NU punya prinsip sendiri, dan ini bukan berarti menghilangkan sikap toleransi NU. Sebab RUU itu jelas bukan proses Islamisasi sebagaimana yang mereka khawatirkan. Tetapi, RUU itu lebih sebagai saran pemberadaban. Kalau pornografi dibiarkan, masyarakat kita akan menjadi masyarakat vulgar dan tidak beradab membuka auarat demi kepentingan bisnis.

<>

Selanjutnya aktivis senior Taman Ismail Marzuki (TIM) itu juga menepis anggapan bahwa RUU APP itu juga akan mengganggu kreativitas dalam berkesenian, sebab terbukti tidak ada satu pun kebudayaan dan kesenian menjadi besar dengan mengekspresikan kebudayaan secara porno. “Tidak Ada,” tegas Dinaldo.

Bisa dikatakan bahwa seluruh karya besar dalam bidang seni budaya justru tanpa bumbu pornografi. Bahkan di negara sekuler sekalipun karya seni pornografi dihargai paling murah dan digolongkan sebagai karya junk (sampah).

Dinal juga merasa heran, RUU itu ditentang dengan dalih sebuah proses formalisasi hukum Islam, bukan soal kebudayaan. Kenapa kalau UU penyiaran dibolehkan, UU perfilman juga boleh dan tidak dituduh Islamisasi yang tidak perlu diformalisasi sebagai Undang-undang.

Contohnya sangat nyata, ketika pers telah begitu bebas, maka DPR, pemerintah, PWI dan kepolisian angkat tangan tidak berani melarang atas terbitnya majalah porno Playboy, dengan alasan dijamin undang-undang. Akhirnya massa yang bergerak, karena majalah itu menghina peradaban Indonesia. Maka di sini membuktikan bahwa persoalan pornografi tidak bisa hanya dititipkan pada UU lain yang ada. Harus ada UU sendiri, kalau bangsa ini tidak mau jadi kuli kapitalis penjaja majalah asal dari Amerika Serikat itu.

Lagi pula sikap NU itu juga tidak mengubah watak dasar NU sebagai kekuatan pengimbang antara kelompok ekstrim dan kelompok liberal. Justru di situlah NU telah menjalankan perannya secara tepat, sebab seluruh agenda penentangan RUU APP dilakukan oleh kelompok liberal yang lebih mengacu pada kepentingan ekonomi kapital.

Melalui RUU ini eksistensi kebudayaan akan dijamin, kalau ada pelaksanan undang-undang nantinya, dan kelompok liberal yang berusaha menggasak habis tradisi lokal dengan dalih kemodernan, maka NU akan bergerak melawan. Demikian M Dienaldo mengakhiri penjelasannya. (kun)


Terkait