Warta

Setahun Peran NU Dalam Membantu Korban Tsunami di Aceh dan Nias (1)

Selasa, 3 Januari 2006 | 06:19 WIB

Tepat satu tahun lalu, gempa dan tsunami menerjang Aceh dan Nias. Musibah terbesar dalam sejarah tersebut memakan korban ratusan ribu nyawa dan fasilitas penduduk. Hingga kini, air mata di bumi tanah rencong itu sepertinya belum juga kering. Proses rekontruksi yang dinilai lambat menjadi salah satu sebab. Sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki tanggungjawab besar dalam membantu para koban bencana. Lantas, sejauhmanakah peran NU dalam membantu masyarakat Aceh?
 
Setiap musibah selalu membawa hikmah. Itulah perspektif teologis untuk membaca musibah gempa tektonik dan gelombang tsunami yang menghempas Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias, Sumatra Utara pada 26 Desember 2004. Selain memakan korban yang mencapai lebih dari 150 ribu jiwa dan kerugian harta benda yang tak ternilai harganya, juga memberikan pelajaran yang sangat berharga buat kita, khususnya warga NU.

Salah satu pelajaran yang tak mungkin terlupakan adalah kegamangan NU dalam menghadapi musibah. Hal itu terjadi karena NU belum memiliki pengalaman praktis serta kader-kader yang siap pakai, ditambah kendala kelembagaan yang membidangi korban bencana, baik bencana alam, maupun bencana manusia. Berangkat dari pengalaman pahit itulah, dua hari kemudian, pasca-gempa dan gelombang tsunami, PBNU segera membentuk lembaga ad hoc yakni bernama Komite Penanggulangan Bencana–Nahdlatul Ulama (KPB-NU)

<>

Semula lembaga ad hoc ini diberi nama Posko Peduli Korban Tsunami. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan serta area wilayah garapan yang semakin luas, lembaga ini kemudian berubah menjadi Komisi Penanggulangan Bencana Alam. Namun tidak lama kemudian nama itu dirombak lagi menjadi Komite Penanggulangan Bencana. ”Nama KPB-NU itu setelah banyak mengalami perubahan,” kata sekretaris KPB-NU, Mabroer MS ketika ditemui NU Online beberapa waktu lalu.

Beberapa perubahan tersebut, menunjukkan adanya proses yang sangat dinamis sejalan dengan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap NU. Satu hal yang patut disampaikan bahwa semangat berdirinya KPB-NU adalah membangun kebersamaan dari seluruh even NU dalam menggarap program kerja kemanusiaan agar bisa lebih optimal dan produktif. Setidaknya, harapan itu sudah mulai tumbuh dari kader-kader NU yang tersebar di berbagai lembaga dan badan otonom (Banom) NU, baik yang berada di dalam, maupun luar negeri. Kini, sudah waktunya bagi PBNU, PWNU, PCNU, PCINU dan Banom NU agar terdorong kesadaranya ke arah yang lebih aplikatif terhadap masalah sosial.
 
Penulis, yang pernah meliput kegiatan KPB-NU di Aceh pasca gempa dan tsunami melihat, secara perlahan PBNU melalui KPB-NU mulai berhasil membangun kepercayaan publik, khususnya dari para donatur yang mempercayakan penyaluran bantuannya melalui NU. Antara lain, donator dari dalam negeri sendiri yang berasal dari warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU) maupun non-nahdliyin, juga komunitas muslim di luar negeri seperti di Eropa dan Amerika. Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan bagi KPB-NU untuk meningkatkan profesionalitasnya dalam mengelola program maupun manajemen kelembagaan yang bertumpu pada asas akuntabilitas dan transparansi.
 
Untuk mencapai target ideal tersebut, tentu dibutuhkan dukungan serta partisipasi aktif dari seluruh jajaran PBNU agar lembaga KPB-NU yang menjadi salah satu ujung tombak PBNU setara dengan lembaga kemanusiaan lainnya. Apalagi, tuntutan pekerjaan yang diamanatkan kepada KPB-NU terus berkembang seiring dengan beragamnya bencana yang menimpa bangsa Indonesia, seperti kebakaran, gizi buruk, dan busung lapar. ”Kami pasti membutuhkan dukungan banyak pihak,” ungkap Mabroer M.S.
 
Di antara para donator yang telah mempercayakan kepada NU melalui KPB-NU, antara lain; komunitas umat Islam di luar negeri seperti Eropa dan Amerika Serikat yang disalurkan melalui Islamic Help UK maupun Muslim Charity UK, PCI-NU UK, PCI-NU Arab Saudi dan masyarakat di dalam negeri, baik perorangan maupun kelembagaan. KPB-NU juga melakukan kerjasama dengan media massa untuk memobilisasi dana, di antaranya dengan harian Duta Masyarakat dan NU Online dengan membuka rekening khusus PBNU yakni 6340048405 atas nama PBNU.
 
Di antara mitra kerja KPB-NU dari dalam negari adalah Yayasan Sahabat Aceh, warga NU di berbagai daerah, baik yang dimobilisasi melalui PCNU, maupun PWNU, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, maupun PCNU dan PWNU di luar Jawa seperti Lampung, dan Sumatra Utara.  Ke depan, KPB-NU dituntut agar lebih meningkatkan performance sekaligus profesionalitas kinerjanya agar dapat mempertahankan sekaligus meningkatkan kepercayaan para donatur maupun para calon donatur.
 
Sebagai lembaga yang masih bersifat ad hoc, sekaligus lembaga baru di lingkungan Nahdlatul Ulama, keberadaan KPB-NU itu sempat mengalami kegamangan dalam melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Hal itu tercermin dari perdebatan yang cukup panjang mengenai orientasi kelembagaan yang akan dibangun dari institusi tersebut.
 
“Kendati demikian, hal itu tidak mengurangi semangat kerja dari para pegiat KPB-NU yang bermaksud “mewakafkan” sebagian waktu, tenaga, pikiran, dan perhatiannya untuk masyarakat korban bencana yang masih teramat membutuhkan uluran tangan, dukungan, serta perhatian dari NU,” jelas Mabroer.
 
Atas dasar spirit kemanusiaan itulah, langkah pertama yang ditempuh oleh KPB-NU dalam konteks musibah internasional, yakn


Terkait