Jakarta, NU Online
Rapat Kerja Nasional Rabithah Maahid Islamiah (RMI) sekaligus silaturrahmi alim ulama hari ini dimulai. Sebanyak 350 kiai dan pimpinan pondok pesantren se-Indonesia akan berkumpul di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada 18-21 Mei untuk membahas masa depan pendidikan pesantren.
Pertemuan itu juga diikuti perwakilan Pengurus Wilayah RMI se-Indonesia dan pimpinan Badan Otonom serta Lembaga di tubuh NU. "Sesuai dengan tema dan tujuan pertemuan, kami akan membahas berbagai hal. Intinya, bagaimana pendidikan pesantren tidak tertinggal, dalam rangka menghadapi era globalisasi," kata Ketua Pimpinan Pusat RMI KH Mahmud Ali Zaen, Jum'at.
<>RMI, kata Mahmud, kini memayungi sekitar 14 ribu pesantren di Indonesia. Dengan jumlah itu berarti mayoritas pesantren tergabung di RMI. Sayangnya, lanjut anggota DPD RI itu, hingga kini ijazah alumninya belum banyak mendapat perhatian dari pemerintah sehingga mereka tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Padahal, katanya, pendidikan pesantren telah masuk dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003.
"Karena itu, masalah Madrasah Diniyah (Madin) pesantren juga akan kami bahas," kiai asal pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, tersebut.
Soal rekomendasi yang bakal dikeluarkan, Mahmud menyatakan, para kiai dan pimpinan pesantren se-Indonesia akan mengeluarkan rekomendasi yang salah satu isinya berupa desakan agar segera dikeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pendidikan agama dan keagamaan.
"Pendidikan pesantren kan sudah masuk dalam UU Sisdiknas. Untuk itu harus segera dikeluarkan RPP tentang pendidikan keagamaan dan agama," katanya.
Ketua Panitia Pelaksana Rakernas RMI Abdul Adhim menambahkan, dari 14 ribu pesantren yang berada di bawah naungan RMINU, hanya PP Sidogiri, Pasuruan dan PP Lirboyo, Kediri yang lulusannya atau ijazahnya diakui oleh pemerintah. "Padahal, kalau bicara kualitas, lulusan pesantren juga tidak kalah dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya," katanya. (ant/mad)