Serikat Petani Indonesia (SPI) sukses menjalankan program pembaruan agrarian dalam waktu sepuluh tahun terakhir. Hal itu dapat dibuktikan dengan tetap dipertahankannya ratusan ribu hektar lahan pertanian pangan.
Kini, tanah itu telah menjadi sumber kehidupan bagi ribuan rumah tangga tani dan berhasil memerdekakan mereka dari kelaparan dan kemiskinan. SPI sebagai inisiator perjuangan kaum tani, berhasil mempertahankan Undang-Undang Pokok Agraria 1960.<>
Demikian diungkapkan Anggota Majelis Nasional Petani (MNP) J.J. Pollong kepada NU Online melalui siaran pers, Rabu (20/8).
"Kami menjadi semakin yakin dan percaya bahwa penerapan pembaruan agraria dan kedaulatan pangan akan menjadi jalan untuk memerdekakan rakyat dari kemiskinan dan kelaparan. Sejalan dengan cita-cita bangsa yang terdapat dalam konstitusi kita. Ini juga merupakan jawaban yang tepat untuk menghadapi krisis harga pangan," kata Pollong.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah SPI Nusa Tenggara Timur, Fabianus Toa, menyatakan perayaan ulang tahun ke-10 SPI merupakan momentum bagi kebangkitan kaum tani untuk mencapai cita-cita bangsa.
"NTT dipilih menjadi tempat puncak perayaan karena mulai dari tempat ini kelaparan dan kemiskinan harus dihapuskan. Petani sanggup untuk memproduksi pangan yang cukup bagi bangsanya apabila pembaruan agraria dan kedaulatan pangan dilaksanakan," ujarnya.
Ketua Umum SPI Henry Saragih menambahkan, pembaruan agraria dan kedaulatan pangan adalah jawaban untuk memerdekakan Indonesia dari kemiskinan dan kelaparan.
Beberapa bulan terakhir, kata Henry, masyarakat di banyak negara, termasuk Indonesia, diresahkan krisis harga pangan. Harga-harga berbagai kebutuhan pokok meningkat tajam sehingga jutaan rakyat kecil kehilangan akses terhadap pangan.
Keadaan itu memperparah kondisi rawan pangan di Indonesia, penderita gizi buruk tiap tahunnya selalu meningkat. Salah satu contoh seperti yang terjadi di NTT, provinsi yang paling banyak mengalami kasus gizi buruk.
Menurut Dinas Kesehatan setempat, pada 2005 terdapat 11.000 kasus gizi buruk. Jumlah ini meningkat hingga 17.000 kasus pada Juli 2006. Kondisi ini semakin hari semakin buruk saja, pada bulan Januari 2008 sudah tercatat 12.818 kasus gizi buruk yang tersebar di 20 Kabupaten. Bahkan, sejak Januari sampai 13 Juni 2008, sudah ada 23 balita yang meninggal dunia di NTT akibat gizi buruk.
Menurut Henry, gizi buruk di NTT terjadi bukan hanya disebabkan rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat oleh masyarakat, melainkan adanya pola yang salah dalam mengelola kebijakan pangan dan pertanian. NTT merupakan contoh nyata kekeliruan dari kebijakan pertanian; pertanian dikembangkan berorientasi kepada pasar internasional dengan model perkebunan monokultur. (sm/rif)