Warta

Tauhid di Tangan Nabi Muhammad Menjadi Gebrakan Revolusi Sosial

Senin, 16 Oktober 2006 | 08:13 WIB

Selama ini, para aktivis Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) lebih dikenal dengan kegiatannya seputar diskusi, menulis, dan sejenisnya. Tapi, setidaknya, untuk kali ini tidak demikian.

Hal itu sebagaimana yang ditunjukkan para aktivis Lakpesdam NU Mesir. Dalam “Safari Ramadan; Diskusi Sembari Silaturahmi” di kediaman Muhlason Jalaluddin Lc, Ketua Tanfidziah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Mesir Kamis (12/10) lalu, mereka menunjukkan keahlian memotong wortel, kubis, kentang, bawang dan cabe.

<>

Beruntung Lakpesdam NU Mesir memiliki anggota yang cukup kompeten untuk membuat perkedel, bakwan dan soto. Menu tersebut adalah menu utama, selain hidangan lain yang berupa kolak dan agar-agar. Masakan itu semakin nikmat lagi karena mendapat arahan langsung dari Atiqah, istri Muhlason Jalaluddin.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Masak-memasak itu tentunya bukan kegiatan Lakpesdam NU Mesir selama bulan Ramadan ini. Melainkan hanya untuk keperluan mempersiapkan buka puasa bersama yang sebelumnya dirangkai dengan diskusi.

Tak lama setelah mempersiapkan menu buka puasa, diskusi pun dimulai. Pemakalah diskusi kali ini adalah Imam Wahyuddin, aktivis muda Lakpesdam NU Mesir yang juga dikenal sebagai pemikir Ikbal al-Amin. Diskusi dengan tema “Rekontruksi ilmu Kalam” dipandu oleh Maria el-Fauzi. Hadiri pada diskusi tersebut Wakil Katib Syuriah PCINU Mesir Aang Asy'ary Lc dan Aqil Ya’qub, sesepuh keluarga besar Lakpesdam NU.

Ilmu kalam (teologi), menurut Abdullah Urwi, dalam sejarahnya adalah spirit peradaban Islam. Ia adalah otoritas yang menentukan, mana budaya dan intelektualitas resmi dan mana budaya dan intelektualitas yang dianggap pinggiran serta perlu disingkirkan.

Bukti paling konkrit adalah setiap daulah (dinasti) Islam klasik selalu menganut sekte teologis tertentu, Muktazilah, Asy’ariyah atau Syi’ah. Ironisnya, setiap sekte menganggap sekte teologis yang berseberangan sebagai Ahlu Bida’ wa al-Ahwa’ yang perlu dibasmi dan diperangi.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Hal ini dilakukan, baik dalam ‘baju politik’ di masa klasik atau dalam ‘baju organisasi’ keagamaan di masa sekarang. Inilah yang membuat keutuhan umat Islam semakin retak dan terpecah. Kesimpulannya, fenomena ini sebenarnya menegaskan adanya relasi yang sangat kuat antara paham teologis tertentu dan kepentingan politik sekaligus kepentingan sekte tertentu. Kemunculan sekte-sekte teologis dalam umat Islam pertama dimulai setelah adanya perpecahan politik pasca-Fitnah Kubra. Kemudian muncul sekte Syi’ah, Ahlussunnah, Muktazilah dan lain sebagainya.

Konsep teologis dalam madzahib yang terorganisir tentu memiliki sistem defensi (bertahan) bahkan ofensi (menyerang). Maka dari itu setiap sekte mempunyai kecenderungan membuat literatur-literatur ar-Rad (counter) terhadap sekte lain atau literatur heresiologi (zindiq). Seperti contoh Risalah fir Rad alaz Zanadiqah milik pentolan Muktazilah, Washil bin Atha’, atau kitab al-Farq baina Firaq milik al-Baghdadi, atau al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal mlik Ibn Hazm. Sekte teologis yang terorganisir ini kemudian merubah teologi Islam menjadi ideologi madzhab tertentu.

Ilmu kalam yang telah menjadi doktrin mati dan sebatas pembelaan terhadap sebuah paham tertentu bisa kembali lagi ke spirit asalnya. Spirit yang bisa membuat manfaat langsung bagi kehidupan masyarakat. Karena pada mulanya, teologi (tauhid) di tangan Nabi Muhammad SAW bisa membuat gebrakan revolusi sosial yang luar biasa. Dengan tauhid, Muhammad memerangi kapitalisme kafir Quraisy. Dengan tauhid pula, Muhammad melawan despotisme dan adat istiadat a-humanis kafir Quraisy. (rq/hieb/rif)