Surabaya, NU Online
Pelan tapi pasti, jumlah korban penyakit HIV/AIDS terus meningkat. Penyakit yang belum ditemukan obatnya itu tidak mengenal tempat, agama dan ras korban sebagai sasaran. Meski banyak pihak telah berupaya keras agar jumlah korban tidak semakin berkembang, namun penyakit ini terus saja bertambah banyak.
Para tokoh agama di Jawa Timur menggelar pertemuan di Hotel Sangri-La Surabaya, Senin (5/2) lalu. HIV/ AIDS dipandang sebagai persoalan bersama dan harus ditangani bersama. Acara tersebut merupakan bagian dari kampanye dan perang bersama memerangi HIV/AIDS.
Hadir dalam<> pertemuan itu Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur Ali Maschan Moesa sebagai perwakilan dari tokoh Islam Pdt Philips Wijaya, perwakilan dari WALUBI (Budha) Pdt Robinson Butarbutar (Kristen), Pdt Daniel Maschal (Kristen). Khusus untuk Pdt Daniel, sengaja didatangkan dari Timor Leste untuk memberikan kesaksian perjalanan penyakit HIV/ AIDS di negaranya.
Dalam paparannya, Ali Maschan menjelaskan, saat ini norma-norma agama saja tidak mampu memagari lagi cinta kasih kaum remaja yang semakin bebas. Banyak perilaku laki-laki dan perempuan yang menyimpang, sehingga juga muncul ekses di mana-mana.
Ali menambahkan, selain karena faktor moral yang semakin longgar, faktor ekonomi juga memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya penggunaan jarum suntik secara bergantian, karena tidak adanya uang. Padahal pemakaian yang seperti itu sangat potensial menjadi jembatan merebaknya penyakit ini.
“Memang, kemiskinan itu akan mendekatkan orang pada sikap ngawur,” kata Ali mengutip wasiat Saiyidina Ali ra, bahwa kemiskinan akan mendekatkan orang pada kekufuran. “Di sini jadi jelas, agama saja tidak menyelesaikan, tapi ada juga faktor ekonomi,” lanjut alumni pelatihan HIV/AIDS yang diselenggarakan UNICEF di Toronto, Kanada, itu.
Sementara Dr Philips, menuturkan, data yang ada di tingkat nasional maupun internasional menunjukkan bahwa penyakit HIV/ AIDS tidak pernah berhenti bergerak. Penyakit itu terus berkembang agresif. Jumlah korbannya setiap tahun meningkat. Pada tahun 2002 di wilyah Asia Timur --termasuk Indonesia – saja jumlah ODHA (orang dengan HIV Aids) sudah 2 juta orang. Setiap tahun jumlah itu terus naik. Diperkirakan, pada tahun 2010 nanti jumlah ODHA akan berkembang menjadi 11 juta orang.
“Kalau kita tidak berbuat apa-apa, jumlah korban penyakit ini akan terus bertambah banyak, dan lama-lama semuanya akan kena,” tutur tokoh WALUBI ini. Untuk itulah para tokoh agama diminta turut serta turun tangan dalam menangani masalah itu.
Pendeta Robinson Butarbutar bersuara lebih keras. Ia banyak menyoroti pandangan gereja dan para pendeta yang dinilai salah. Mereka masih melihat persoalan korban HIV/AIDS sebagai kutukan Tuhan, akibat dari ulah manusia sendiri yang keluar dari jalan Tuhan. Para ODHA sudah selayaknya mendapatkan kutukan seperti itu.
“Sampai sekarang gereja tidak punya budget untuk membicarakan HIV/AIDS. Padahal persoalannya tidaklah sesederhana itu,” kata Robinson berapi-api.
Setelah sesi seminar, para tokoh agama itu menandatangani Deklarasi INTERNA (Indonesian Interfaith Network on HIV/AIDS – Jaringan Lintas Agama Peduli HIV/AIDS di Indonesia, Jala Indonesia). Mereka antara lain, Ali Maschan Moesa, H Otong Abdurrahman, Anggia Ermalini (PP LKKNU); Pdt Philips Wijaya (Budha, Walubi); Pdt Robinson Butarbutar (Kristen); Pdt Daniel Maschal (CWS, Timor Leste); Louisse (PALMA). Mereka bersepakat untuk mengkampanyekan penanggulangan HIV/ AIDS kepada jamaah masing-masing. (alf/sbh)