Tradisi halalbihalal atau maaf-memaafkan saat Hari Raya Idul Fitri merupakan hal yang baik dan perlu terus dilestarikan. Meski tak diajarkan dan tak pernah ada saat zaman Rasulullah Muhammad, tradisi itu janganlah dianggap bid’ah (mengada-ada dalam beribadah).
Demikian dikatakan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, KH Mughni Labib, pada Halalbihalal Keluarga Besar Departemen Agama Kecamatan Brebes di Aula Madrasah Ibtidaiyah Negeri Brebes, Senin (13/10) lalu.<>
Ia menjelaskan, jika segala sesuatu yang baru, terutama yang berkaitan dengan ritual beribadah, maka semua yang ada di dunia ini juga bid’ah. Karena itu, sepanjang tradisi tersebut memiliki nilai kebaikan dan manfaat bagi umat, maka harus dilestarikan.
Kegiatan masyarakat, lanjutnya, banyak yang tidak ada dalil dan tuntunannya. Di era sekarang, ritual semacam tahlil dan qunut sebagai cara pendekatan kepada Allah dan Rasulullah, mestinya harus terus dikembangkan. Lewat tahlil akan selalu terjalin komunikasi, baik kepada ahli kubur maupun antartetangga.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa pasca-Lebaran, bukan berarti pasca berbuat baik, tapi seharusnya sebagai tindak lanjut dari pelatihan ibadah selama Ramadhan. “Setelah pelatihan, yang kita lihat, malah tidak memenuhi target menuju takwa,” gugatnya.
Setidaknya, sambung Kiai Mughni, pasca-Ramadhan, pikiran, perkataan dan perbutan bisa mencerminkan ciri-ciri seorang yang bertakwa. Antara lain, mampu memanfaatkan harta pada jalan Allah, seperti, bersedekah, mampu menahan hawa nafsu, suka memaafkan dan senantiasa berbuat baik kepada sesama. (was)