Wawancara

KH Nuril Huda : Kita Dakwahkan Islam yang Ramah, bukan Islam yang Marah

Ahad, 7 Agustus 2005 | 04:09 WIB

Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) merupakan salah satu perangkat NU yang bertugas untuk menjalankan program dakwah, bagaimana program yang akan dijalankan dalam periode lima tahun ke depan dibawah pimpinan KH Nuril Huda untuk yang kedua kalinya ini. Berikut wawancaranya dengan Mukafi Niam di kantor LDNU beberapa waktu lalu.

Apa program LDNU dalam lima tahun mendatang?

<>

Dalam jangka 5 tahun yang akan datang ini, pertama kita akan mengembangkan organisasi dan SDM di bidang dakwah Islamiyah. Para muballigh ini masih perlu dibina karena tingkatan keilmuan mereka beragam dan komunitas yang didakwahi juga plural. Lha ini memerlukan keilmuan yang tinggi untuk bisa menjadi seorang mubaligh yang sejuk didengar, dan senantiasa bisa membuat orang bisa tentram dalam kehidupan baik itu masalah ibadah maupun sosial kemasyarakatannya.

Dan tidak kalah pentingnya kita juga perlu melihat di luar negeri  bagaimana metode yang baik dalam keorganisasian dakwah. Kita sudah memiliki banyak jaringan di luar negeri Oleh karena itu, di dalam periode sekarang ini banyak kawan-kawan kita yang ahli bahasa Inggris. Dan apabila kita keluar negeri itu gak canggung gitu, untuk menyampaikan pendapatnya masalah Islam yang ramah, bukan Islam yan marah.

Terus manajemen keorganisasian di lingkungan kita ini masih perlu ditingkatkan walaupun itu perlu perjuangan berat. Memang teorinya itu bisa saja  tapi prakteknya susah, mengalihkan satu kepribadian ke kepribadian yang lain. Umpamanya orang tidak tertib, kita tertibkan itu susah sekali.

Yang kedua dari program LDNU adalah pengembangan kerukunan antar umat beragama. Jangan sampai masalah dan konsep kerukunan antar umat beragama ini menimbulkan kesalahpahaman. “Agama ini sama, sama dalam apanya?” Karena kita ini mahluk sosial maka tidak bisa kita hidup sendiri. Maka harus hidup dengan siapa saja, harus bisa hidup bersama dengan baik Allah dalam Al Quran berfirman wal kaadhibiina minal ghoidho wal aafina minannas.

Kehidupan beragama di negeri kita ini kadangkala aneh. Para mubalighnya akan kita beri bimbingan bagaimana bisa mengahadapi orang-orang seperti itu. Kita hormati pendapat dia, tapi kita tidak ikut. Dan menghormati itu ada batas-batasnya, kalau masalah peribadatannya itu tidak masalah. Tapi kalau masalah aqidah ini kan sudah memiliki garis demarkasi. Lha ini yang kadang-kadang  orang tidak bisa membedakan. Ini aqidah, apa syariah, apa khilafiyah. Ini yang kadang-kadang dikalangan kita ini masih kurang paham.

Kita juga sudah kerjasama lembaga dakwah Muhammadiyah, mendirikan CMM  (Central Moderate Muslim), anggotanya 7 negara, direkturnya Pak Tarmizi Thaher, saya wakilnya. Ini dalam rangka apa, ini dalam rangka supaya pertentangan pada jaman dahulu ketika kita masih kecil dikurangi. Saya sudah menyampaikan hal itu ke Malaysia, Thailand, Filipina, diantaranya itu. Dengan slogan Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Memahami seperti ini, ditingkat diatas sudah baik, tetapi di kampung-kampung antara NU-Muhammadiyah, masih ada yang berseberangan. Ini memerlukan waktu. Tapi yang paling penting, kawan-kawan kita didik bahwa itu sudah menjadi amalnya, dan kita hormati saja, apalagi sesama Islamnya.

Lembaga Kerukunan Antar Umat Beragama gedungnya di depan kantor PBNU, tapi seolah-olah kalau perlu saja, padahal sebenarnya ini permanen supaya oarng tidak bertengkar.  Dan sekalipun banyak pemimpin-pemimpinnya kita yang menyampaikan,.semua pergolakan di negeri kita ini tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Tapi tidak mustahil itu sedikit banyak didasari rasa keagamaan. Ini perlu kita cermati.

Nanti lemabaga dakwah ini akan mengumpulkan para mubaligh. Kita akan membantu ‘meratakan’ jalannya. Bagaimana supaya kita ini bisa rukun, tenteram, sebagaimana kita harapkan bersama. 

Yang ketiga dari program LDNU adalah menyebarluaskan Islam dengan paham ahlusunnah wal jamaah (aswaja). Ini sudah pasti memerlukan kajian yang lama, sebab di negeri kita ini sekalipun dia tidak NU juga menamakan dirinya aswaja. Sebenarnya yang mana yang benar? Kalau kata NU yang benar yang ini, kata yang lain yang benar ya mereka. Karena itu kita memerlukan kajian yang sesungguhnya. Tapi saya yakin bahwa di NU inilah yang benar. Sekalipun kita benar, kita hormati juga yang aswaja yang lain.

Aswaja di negeri kita sudah membudaya, sudah menjadi kultur, tapi yang masuk di NU masih sedikit


Terkait