Wawancara

Nadirsyah Hosen: Salurkan Aspirasi Lewat Mekanisme Demokrasi yang Ada

Selasa, 25 Juli 2017 | 23:03 WIB

Nadirsyah Hosen: Salurkan Aspirasi Lewat Mekanisme Demokrasi yang Ada

Nadirsyah Hosen.

Setelah sistem kekhalifahan runtuh pada tahun 1924, dunia Islam terbelah menjadi dua: ada kelompok yang ingin mendirikan sistem khilafah lagi dan ada juga kelompok yang memilih sistem lain –seperti republik, kerajaan, kesultanan, dan lainnya- dari pada menghidupkan kembali sistem khalifah. Masing-masing memiliki pendukung dan argumen. 

Selain itu, muncul pula terma Islam politik dan politik Islam. Di beberapa negara yang penduduknya mayoritas Islam, terjadi polemik antara Islam politik dan politik Islam. Begitupun di Indonesia. Meski memiliki cara yang ‘berbeda’, namun keduanya memiliki semangat untuk menerapkan nilai-nilai Islam di dalah kehidupan berpolitik dan bernegara.

Di Indonesia, juga ada kelompok yang mengaku membela Islam dengan menegakkan hukum-hukum Islam, tetapi mereka tidak bersedia untuk ikut berdemokrasi. Mereka menggunakan cara-cara di luar parlemen untuk membela Islam.

Lalu, bagaimana sebetulnya praktik Islam politik dan politik Islam di Indonesia saat ini? Dan bagaimana keduanya mewarnai demokrasi yang ada di Indonesia? Bagaimana menanggapi kelompok yang ada di ‘jalan’ dan tidak ikut berdemokrasi? 

Untuk menguraikan itu, Jurnalis NU Online A. Muchlishon Rochmat berkesempatan mewawancarai Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand yang juga menjadi Dosen Senior Hukum di Universitas Monash Australia Prof Dr Nadirsyah Hosen atau biasa disapa Gus Nadir. Berikut hasil wawancaranya:

Sebetulnya, apa perbedaan Islam politik dan politik Islam, Gus?

Sebenarnya sudah banyak buku dan tulisan yang membahas tentang Islam politik dan politik Islam. Intinya, Islam politik lebih menekankan dan menerapkan simbol-simbol atau atribut Islam di dalam berpolitik. Sementata, politik Islam lebih mengedepankan Islam sebagai sebuah nilai. Mereka tidak melulu menggunakan atribut-atribut Islam dalam kegiatan berpolitik.

Bagaimana Gus Nadir melihat praktik dari keduanya di Indonesia dalam konteks hari ini?

Sekarang, di Indonesia terjadi tarik menarik antara keduanya. Ada sebagian yang mengikuti sistem politik yang ada, ikut pemilu. Lalu, mereka memperjuangkan Islam dengan gerakan-gerakan politik. Itu sah-sah saja. 

Tetapi sekarang ada orang yang berada di luar mekanisme demokrasi. Dia ada di jalanan dan tidak bersedia untuk ikut proses demokrasi tetapi dia mengklaim bahwa sedang membela Islam. Kalau dia ikut berdemokrasi, maka dia bisa membela Islam dalam konteks meloloskan kebijakan-kebijakan yang pro Islam. 

Tapi ada semacam ‘ketakutan’ dari masyarakat kalau ada partai yang mengedepankan Islam politik. Bagaimana itu, Gus?

Kita lihat partai-partai Islam misalkan seperti PKS. Ketika pertama kali muncul PKS dulu banyak orang yang khawatir. Tetapi sekarang kita melihat semakin lama PKS itu semakin demokratis.

Apa yang menyebabkan kok bisa seperti itu?

Proses demokrasi mendemokratiskan mereka. Jadi, proses demokrasi tidak membuat mereka menjadi menguat, membuat mereka ‘semakin Islami.’ 

Nah, ini berbeda dengan orang yang berada di jalanan dan tidak ikut proses demokrasi. Dia akan semakin mengeras. Misalnya Hizbut Tahrir Indonesia, sekarang mereka dibubarkan tetapi kan bisa daftar lagi nanti. 

Tetapi kalau mereka memang tidak anti-NKRI maka mereka harus mengikuti proses demokrasi seperti pemilu. Mereka bisa bertarung di sana. Tetapi kalau teriak-teriak di jalan dan menganggap demokrasi itu toghut dan kufur itu tidak dibenarkan. 

Jadi Apakah bisa disimpulkan bahwa mereka yang mengikuti mekanisme demokrasi akan ikut demokratis?

Saya percaya bahwa orang yang mengikuti mekanisme demokrasi Pancasila, dia akan tertarik ke tengah. Karena moderasi itu menjadi sebuah keniscayaan di dalam politik. Dia harus negosiasi dan mempertimbangkan isu-isu lain. 


Yang repot adalah mereka yang ada di ‘jalanan’ karena tidak ada proses yang menarik ke tengah. Yang ada mereka selalu menguat dan mengeras.  

Bisa dibuatkan simplifikasinya, Gus?

Misalnya tujuh juta orang yang ikut demo itu kalau dihitung sebagai perwakilan untuk kursi DPR itu akan dapat berapa kursi. Di jalanan mereka memang banyak, tetapi karena ada mekanisme demokrasi dan pemilu, kalau misalnya orang-orang tersebut dihitung dari daerah saja maka mereka hanya akan mendapatkan satu kursi saja di DPR. Karena ada sebaran kursi dan mekanisme yang harus diikuti.

Kalau banyak-banyakan massa, ya banyakan massa PKB di Jawa. Ini yang saya maksud, kalau kita masuk mekanisme maka kita akan tertarik ke tengah. Itulah politik. Dan silahkan perjuangkan lewat jalur itu. Tapi kalau kita kita tidak proses itu dan berada di ‘jalan’, yang terjadi adalah kita mempolitisasi Islam. 

Untuk menyikapi mereka yang ada di ‘jalan’ seperti itu apa?

Selama itu tidak melanggar aturan dan ketertiban umum, itu adalah bagian dari demokrasi dan kita apresiasi. Tapi ada aturan main dan aturan inilah yang seharusnya ditaati. Masalahnya mereka yang ada di ‘jalanan’ adalah para penyelundup demokrasi. 

Maksudnya penyelundup demokrasi?

Mereka menggunakan kosakata demokrasi tetapi sebenarnya ingin membunuh dan menghancurkan demokrasi. Misalnya seperti ini, mereka turun ke jalan adalah sebuah kebebasan mereka masing-masing. Tetapi jika isu yang diangkat adalah untuk menggoyang pilar bangsa, maka itu tidak diperkenankan. Kalau tidak ada izin, mereka juga tidak boleh melakukan turun ke jalan seperti itu. 

Di luar negeri, kalau melakukan demonstrasi juga harus memiliki izin dan rute yang jelas. Hal itu diterapkan karena ketertiban umum tidak boleh terganggu.   

Gus Nadir melihat demokrasi di Indonesia itu bagaimana?

Demokrasi membutuhkan kedewasaan dan butuh proses. Demokrasi kita baru sebentar, yaitu mulai tahun 1998. Kalau kita bandingkan dengan negara lain, lima puluh sampai tujuh puluh tahun pertama berdemokrasi mereka perang saudara. Kita tidak ada perang saudara. 

Pelan-pelan kita kita akan bergerak ke demokrasi yang lebih dewasa. Tetapi itu butuh waktu dan kesiapan institusi sosial termasuk ormas-ormas Islam. Bagaimana akan berdemokrasi kalau misalnya ada ormas Islam yang tidak demokratis. Misalnya ormas FUI, sekjennya tidak pernah berganti karena dari dulu hingga sekarang masih dipegang Al-Khatthat. Oleh karena itu institusi sosial juga harus diperkuat untuk menuju demokrasi yang lebih dewasa.

Ada anggapan bahwa Perppu tentang ormas bisa digunakan untuk menghantam lawan politik. Bagaimana menanggapi itu?

Kalau untuk menghantam lawan politik berarti yang dibubarin siapa. FPI kan bukan. Ini kah HTI yang dibubarkan. Yang salah itu bukan Perppu tetapi yang salah adalah pemerintah yang sebelumnya yang menerima HTI sebagai ormas.

Itukan persoalannya. Kenapa yang tidak sepakat dengan Pancasila dan UUD 1945 diakui dan dikasih berbadan hukum. Kalau mau membenarkannya kan susah.

Terakhir Gus, Bagaimana Islam Indonesia ini ke depan?

Menurut saya Islam di Indonesia akan menjadi contoh dunia. Saya optimis bahwa Islam di Indonesia akan menjadi contoh bagaimana membangun peradaban dunia. Dan NU akan menjadi salah satu mercusuarnya karena sedang bergerak ke arah sana. Kita bicara secara spiritual maupun bicara secara hitung-hitungan normal, kita sudah bergerak ke arah sana. Tapi itu butuh waktu. 


Terkait