Solo, NU Online
Masyarakat Jawa memiliki salah satu kebudayaan berupa permainan musik yang kemudian disebut dengan istilah Karawitan. Kesenian Karawitan ini dikemas dengan alunan instrumen gamelan dan vokal yang indah sehingga enak untuk didengar dan dinikmati.
Namun, selain indah didengar, kesenian kerawitan ini juga kaya akan nilai historis dan filosofis. Di antaranya juga diajarkan bagaimana tentang etika hidup serta cara bersosialisasi di dalam masyarakat.
“Belajar karawitan sama dengan belajar bermasyarakat, karena ada struktur dan peran masing-masing, yang satu sama lain tidak ada yang tidak penting,” terang Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Waluyo pada acara “Ngaji Budaya: Islam Nusantara dalam Pergualatan Ideologi Islam Transnasional” di Kantor PCNU Kota Surakarta, Selasa (27/8) malam.
Ditambahkan Waluyo, ketika bermain karawitan juga harus mengerti kanan kirinya. Ada istilah rempek, bagaimana suara itu tidak ada yang menonjol satu sama lain. kemudian rampak berusaha supaya harus dikehendaki bersama, ada banter tapi tidak berpekik, juga lirih tapi tapi bisa didengarkan.
“Semua itu adalah estetika di dalam bermain gamelan, yang akhirnya berpengaruh kepada kehidupan orang Jawa. Setelah mengenal gamelan, menjadi pribadi yang halus,” ungkapnya.
Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah justru banyak orang dari luar negeri yang belajar hal tersebut. “Bahkan mereka tidak berani melangkahi instumen. Karena mereka tahu membuat gamelan itu butuh proses sedemikian rupa. Dengan melompati seolah tidak menghargai,” kata Waluyo.
Lebih lanjut diterangkan Waluyo, teks di dalam tembang Jawa banyak yang mengandung ajaran kebaikan dan mencerminkan nilai Islam, yang agak berbeda dengan lagu Jawa populer di masa kini atau campur sari, yang banyak mengarah kepada hal yang vulgar.
Ia juga berharap, ajaran kebaikan lewat tradisi karawitan ini dapat terus dilestarikan dan diajarkan kepada generasi muda. “Kalau kita sungguh-sungguh mengenalkan ini kepada anak-anak, melakukan dengan benar dan sabar, akan berpengaruh terhadap kepribadian mereka,” pungkasnya.
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Surakarta Sofwan Fauzi mengatakan, melalui kegiatan ini menjadi upaya kita menggabungkan agama dengan budaya, memperkuat satu dengan yang lain.
"Agama dan budaya bukan untuk dipertentangkan, akan tetapi saling memperkuat satu dengan yang lain," tandasnya.
Ketua Lesbumi Surakarta, Muhammad Taufiq kepada NU Online, Jumat (30/8) menjelaskan, ke depan kita bisa bersama, kesinambungan ilmu arudh akan bersinergi dengan tembangan Jawa. Lesbumi merasa, ini bagian-bagian yang perlu kita lestarikan.
Dikatakan, Ngaji budaya selain menghadirkan tokoh seniman dari ISI Surakarta, pihak panitia juga menghadirkan Ketua Lesbumi PBNU, KH Agus Sunyoto dan pegiat budaya KRMH Aryo Hidayat Adiseno.
Kegiatan yang dihadiri dari berbagai elemen ini juga menampilkan pentas Wayang Beber yang mengambil lakon tentang pasar tradisional.
Kontributor: Ajie Najmuddin
Editor: Muiz