Daerah

Peringati HUT RI ke-75, Kopri Inisa Bekasi Gelar Seminar Keperempuanan

Senin, 17 Agustus 2020 | 07:30 WIB

Peringati HUT RI ke-75, Kopri Inisa Bekasi Gelar Seminar Keperempuanan

Seminar keperempuanan Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Kopri) Pengurus Komisariat (PK) PMII Institut Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi (Inisa) Tambun, Bekasi. (Foto: dok. istimewa)

Bekasi, NU Online

Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Kopri) Pengurus Komisariat (PK) PMII Institut Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi (Inisa) Tambun, Bekasi menggelar seminar bertajuk ‘Sudahkah Perempuan Indonesia Merdeka Seutuhnya?’ di Metland Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada Sabtu lalu. Acara ini dilangsungkan dalam rangka peringatan HUT RI ke-75.


Kegiatan ini dimulai dengan pemutaran film dokumenter dan musikalisasi puisi oleh Ketua Kopri PK PMII Inisa Reesti Mauliddiana Purnama Permata Sari. Ia membacakan puisi mengenai suara hati perempuan. Di dalam puisinya itu, Reesti mengatakan bahwa Indonesia sudah merdeka 75 tahun tapi belum berhasil dalam berbagai persoalan utama tentang isu perempuan.


Perempuan di Indonesia, kata Reesti, masih kerap mengalami perbudakan, diskriminasi, bahkan menjadi objek kekerasan karena faktor gendernya. Ia seperti menunjukkan kepada hadirin soal grafik tingginya angka kekerasan yang dialami perempuan dengan hukum-hukum yang tak pasti dan meresahkan. Salah satunya adalah mengenai RUU P-KS. 


Selain itu, Aktivis Fatayat Nahdlatul Ulama Kabupaten Bekasi Faiqotul Husna, yang menjadi pembicara di dalam diskusi itu, memaparkan lima komponan pembahasan. Yakni soal pengertian merdeka, kedudukan perempuan sebelum dan setelah Islam datang, hak seorang wanita Muslimah, serta role model perempuan muslimah.


“Secara umum, kita sepenuhnya sudah merdeka. Merdeka sendiri secara garis besar bermakna bebas, tidak terbelenggu,” kata perempuan yang berprofesi sebagai dosen di Kampus Inisa ini.


Menurutnya, ada tiga topik yang menjadi isu mengenai perempuan yang belum merdeka sepenuhnya. Pertama, perempuan belum merdeka atas tubuhnya sendiri baik secara offline maupun online karena seringkali menjadi objek yang kerap dieksploitasi.


Kedua, aktualisasi perempuan masih terbelenggu di bidang ekonomi. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk ikut andir dalam urusan perekonomian daerah. Terutama, orang-orang yang tinggal di desa yang masih terbelenggu oleh adat-istiadat setempat,” paparnya.

 

Ketiga, lanjutnya, perempuan masih belum bisa merdeka di bidang sosial, budaya, dan politik, Hanya sepuluh persen saja perwakilan perempuan di kancah politik. Kemudian di bidang sosial-budaya, perempuan masih kental dengan istilah urusan dapur, samur, kasur. 


“Dari tiga isu ini, perempuan masih sulit mengembangkan dirinya. Sehingga mereka terbatas pendidikan, kemampuan, dan keterampilannya,” lanjut Faiqotul Husna.


Selain itu, ia juga memperhatikan angka kekerasan seksual terhadap perempuan yang kian tinggi. Baik kekerasan seksual kepada perempuan yang berhijab atau pun tidak. Berbagai kekerasan terus terjadi dan meningkat pesat hingga tahun 2019 lalu. Terakhir ia menyampaikan sebuah pesan kepada generasi milenial untuk tidak menjadi seperti burung kaswari, yang membenamkan kepalanya ke dalam tanah. 


“Jangan diam. Harus action. Kita harus sadar keberadaan perempuan yang tereksploitasi dan termarginalkan,” tegasnya. 


Ia memberi penegasan bahwa perempuan harus meningkatkan kemampuan untuk menjadi agen perubahan. Menurutnya, perempuan jangan menjadi peselancar yang terlalu mengikuti arus gelombang, tetapi mesti menciptakan gelombang sendiri agar peradaban negeri lebih maju.


“Jangan termakan oleh narasi-narasi hoaks karena dengan begitu anda akan menjadi sang desainer peradaban,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad