Daerah

Pesantren di Bojonegoro Jaga Tradisi Tumpengan pada 10 Muharram

Rabu, 11 September 2019 | 21:00 WIB

Pesantren di Bojonegoro Jaga Tradisi Tumpengan pada 10 Muharram

Salah satu tradisi memasuki 10 Muharram malam di kawasan Bojonegoro, Jatim. (Foto: NU Online/Sueb)

Bojonegoro, NU Online
Setiap 10 Muharram malam, Pondok Pesantren Delingsongo, Desa Mayangkawis Kecamatan Balen, Bojonegoro, Jawa Timur mengadakan acara rutin. 
 
“Kegiatan tersebut berupa pembacaan tahlil sebagai washilah kepada leluhur, juga ahlul qariah dan pembacaan manaqib Syeh Abdul Qodir al- Jailani,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Delingsongo, M Tawwabur Rohim, Rabu (11/9).
 
Acara berikutnya dengan tumpengan berupa nasi kuning dan ayam ingkung yang dimakan bersama. “Sebagai penutup, sebagian tumpeng juga dibagikan kepada warga sekitar yang dikenal dengan sodakohan,” ungkapnya.
 
Dalam pandangannya, tradisi tumpengan setiap 10 Muharram malam menjadi ciri khas jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sarana mempertahankan tradisi yang telah lama ada.
 
“Karena dengan menjaga tradisi dan keseimbangan kehidupan di masyarakat, maka kerukunan akan terjaga,” ungkapnya. 
 
Dan dengan kerukunan yang terus dirawat, maka akan berujung kepada suasana yang kondusif. “Harapannya masyarakat semakin rukun, aman, gemah rimpah loh jinawi, yang baik semakin baik, dan yang jelek semakin baik,”  tuturnya.
 
Lebih lanjut M Tawwabur Rohim mengatakan, kegiatan tersebut menjadi salah satu cagar budaya NU yang perlu dilestarikan. Tidak semata kebiasaan yang turun temurun, tumpengan juga sebagai media untuk meneladani dakwah para pendahulu. 
 
“Yaitu sebagi sarana dakwah agama Islam yang rahmatan lil alamin. Dan menjalankan ibadah dengan tentram,” terangnya.
 
Sebagai kegiatan yang sarat manfaat dan terbuka bagi berbagai kalangan, pada kesempatan tersebut bukan hanya dihadiri masyarakat setempat. Sejumlah warga dari kawasan berbeda juga turut bergabung dan memeriahkan tradisi ini.
 
“Bahkan warga sekitar kecamatan seperti Kecamatan Sukosewu, Balen, Kanor dan Sumberrejo juga bergabung di sini,” tandasnya.
 
Saat kegiatan, dilakukan pembacaan manaqib yang rampung jelang dini hari. Kegiatan juga dilanjutkan dengan wejangan atau mauidlah hasanah.
 
Kiai Syamsuddin yang menjadi penceramah mengingatkan pentingnya menjaga sedulur papat limo pancer yang terdapat pada diri manusia. Bahwa Orang Jawa banyak meyakini keberadaan sedulur papat limo pancer dalam perjalanan hidupnya. 
Istilah tersebut pertama kali diketahui dari Suluk Kidung Kawedar, Kidung Sarira Ayu, pada bait ke 41-42. Suluk ini diyakini masyarakat sebagai karya Sunan Kalijaga, sekitar abad 15-16.
 
Pada kesempatan tersebut, Kiai Syamsuddin juga mengajak hadirin memaknai pentingnya menjaga sifat sabar terhadap kawula. “Bahwa manusia harus bisa menjaga keseimbangan kehidupan,” pungkasnya. 
 
 
Pewarta: Sueb
Editor: Ibnu Nawawi