Daerah

Ternyata, Ulama Haramain Pernah Kaji Persoalan-Persoalan di Nusantara

Senin, 27 Maret 2017 | 03:14 WIB

Ciputat, NU Online
Pada setiap abad, ada ulama Timur Tengah yang menulis tentang permasalahan pada zamannya. Banyak juga dari fatwa-fatwa tersebut yang berisi tentang persoalan-persoalan Islam di Nusantara. Ahmad Ginanjar secara khusus mendata beberapa karya dialog keilmuan antara ulama Nusantara-Haramain ini. 

Hal itu dipaparkan dalam Kajian Turats Ulama Nusantara di Islam Nusantara Center, Sabtu (25/3). Kajian Turats yang mengangkat tema Fatwa-Fatwa Ulama Haramayn untuk Islam Nusantara  ini, dipandu langsung oleh Gus Milal Bizawie sebagai penguat latar belakang sejarah. 

"Dari data yang saya dapatkan, kumpulan fatwa ini berkisar dari abad 17-20. Dan persoalan-persoalan dalam fatwa ini tidak ditemukan di Timur Tengah " katanya. 

Ginanjar memilih rentan waktu abad 17 sampai 20 M sebagai kajian karena memiliki satu pola dan jalur yang sama. Ia mengatakan ".. Karena model fatwa yang masuk dari Timur Tengah itu satu track. Satu jalur, satu sanad, satu genealogi". 

Lalu seperti apa permasalahan-permasalahan Islam di Nusantara dan jawabannya yang menjadi bahasan dalam penerbitan fatwa? Ini terangkum dalam beberapa kitab. A. Ginanjar mencontohkan satu kitab berjudul Ithaf al-Dzaki fi Syarh al-Tuhah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya Syaikh Ibrahim al-Kurani (w. 1690), ulama sentral Madinah di zamannya.

Kitab tersebut merupakan jawaban dari permasalahan saat itu. Yaitu menjelaskan duduk perkara teosofi (tasawuf falsafi) dan pantheisme (wahdatul wujud) yang saat itu pemikirannya tersebar di Nusantara. Di mana Kitab al-Tuhfah al-Mursalah karangan Syaikh Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri dari India, menjadi rujukan dalam faham tersebut.

"Kitab tersebut termasuk kontroversial karena memuat bahasan wahdatul wujud " jelas Ginanjar. Inilah contoh permasalahan yang berkembang di Sumatera saat itu. 

Adab dalam Perbedaan Pendapat

Ada hal menarik di mana ulama terdahulu tetap menjaga adab ketika berbeda pendapat. "Ada tradisi ulama yang hilang, yaitu munadhoroh. Di mana ulama-ulama berkumpul di suatu majelis, lalu saling tukar pikiran dengan tetap menjaga adab. Muroatul hadad wal hudud," tandas Ginanjar. 

Begitu juga dalam mengkritik sebuah pendapat, sebagaimana dilakukan oleh Syaikh Ibrahim al-Kurani terhadap karya al-Burhanpuri. 

Al-Kurani menulis, "Mereka menceritakan kepadaku bahwa di antara kitab yang paling masyhur di kalangan mereka adalah risalah pendek berjudul Al-Tuhfah al-Mursalah karangan seorang al-Arif Billah Syaikh Muhammad bin Fahdlullah al-Hindi al-Burhanpuri, semoga Allah senantiasa memberikan kita kemanfaatan dari ilmu-ilmunya. Beberapa dari Jemaah Muslim Nusantara itu meminta kepada diriku yang fakir ini untuk menulis sebuah ulasan/penjelasan (syarh) atas kitab tersebut, agar dapat menjelaskan kesesuaian masalah-masalah di dalamnya dengan prinsip-prinsip dasar agama yang benar”.

"Ini luar biasa sekali, Al-Kurani menyebut orang yang ia kritik sebagai seorang arif. Dan menyebut dirinya sebagai fakir. Jauh berbeda dengan zaman sekarang ini" ujarnya. 

Dari pembahasan tersebut Ginanjar menyimpulkan "Semua ini menunjukkan adanya wacana regio-intlektual yang kuat di antara para murid Melayu-Indonesia dan para ulama di Haramain dan tanggung jawabnya terhadap pembaharuan religio-intlektual di kalangan kaum muslimin Jawi”, pungkasnya. (Zainal Abidin/Mukafi Niam)