Sebelumnya, perwakilan kedua belah pihak bertemu. Pihak Republik Indonesia diwakili Wakil Gubernur Surabaya Soedirman, Doel Arnowo, Wali Kota Radjiman Nasution, dan wakil dari Mustopo, Jenderal Mayor Mohammad. Sementara dari pihak Sekutu adalah A.W.S. Mallaby dan stafnya. Hasil perundingan itu adalah pasukan Brigade 49 boleh menggunakan beberapa bangunan di dalam kota Surabaya.
Selain itu, ada tiga poin yang dihasilkan pertemuan tersebut. Pertama, pasukan Sekutu akan membantu penegakkan hukum, ketertiban, dan kedamaian. Kedua, pelucutan senjata hanya berlaku untuk tentara Jepang. Ketiga, tentara Jepang yang dilucuti akan dipindahkan ke luar melalui laut.
Namun, pihak Sekutu mengingkari perjanjian tersebut. Persetujuan untuk menempati beberapa bangunan, ternyata mereka bertindak lebih jauh.
Agus Sunyoto merinci kronologinya. Pada tanggal 25 Oktober 1945, Sekutu mendaratkan pasukan Brigade 49 dari Mahratta dan Rajputan Rifles di Surabya. Keesokan harinya, pagi tanggal 26 Oktober, Brigade 49 bergerak memasuki kota Surabaya dan menempati bangunan-bangunan yang sesuai perundingan.
Namun, mereka melanggar dan bertindak di luar kesepakatan, misalnya, saat memasuki daerah Nyamplungan, satu kolone dari pasukan Mahratta Infantry menangkap pimpinan TKR Nyamplungan dan kemudian menguasai Seksi Polisi Nyamplungan dan Bubutan serta melucuti anggota polisi yang bertugas. Terjadi pula pelanggaran-pelanggaran lain. Hal itu menyebabkan penduduk Surabaya marah.
Menanggapi itu, di hari yang sama, sekitar pukul 17.00 pasukan TKR Laut dan AMPAL yang mendapat bantuan dari kota mulai menyerang dari jurusan industri Pekulen dan sawah Pulo. Namun, pada saat mereka mendekati pos pertahanan musuh, panser-panser merkea diberrondong senjata-senjata berat pihak Sekutu hingga berbalik arah dan bertahan di pinggir jalan.
Pada saat seperti itu, suara gemuruh orang banyak, bahkan ada yang berteriak Allahu akbar, datang dari berbagai penjuru Surabaya utara. Menurut Agus Sunyoto, mereka adalah para pemuda dan santri dari kampung-kampung, di antaranya Ampel, Sukadana, Boto Putih, Pekulen Pegirikan, Sawah Pul, Jati Purwo yang dipimpin Achyat Cholil, kader Ansor Nahdlatul Ulama yang aktif di Hizbullah.
Para pemuda dan santri banyak yang tewas dalam kontak senjata dengan Sekutu. Hal demikian membangkitkan kemarahan para orang tua di kampung-kampung. Mereka turun gelanggang membantu mengepung pos pertahanan Sekutu. Hal serupa terjadi di pos pertahanan Inggris di Keputran.
Arek-arek Surabaya paham, berperang melawan Sekutu tidak akan menang jika mengandalkan seadanya. Mereka kemudian memutus kabel-kabel listrik jaringan telepon, aliran air minum, dan menghentikan pasokan gas di daerah pos-pos pertahanan Sekutu.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua