Fragmen HARLAH KE-56 LESBUMI

Fir’aun dan Masitah Lesbumi Kalimantan Selatan

Rabu, 28 Maret 2018 | 11:30 WIB

Fir’aun dan Masitah Lesbumi Kalimantan Selatan

Salah satu pementasan Lesbumi Yogyakarta tahun 1966

Titik silang pertemuan NU dengan kebudayaan modern, setidaknya dalam Chisaan (2008), adalah melalui transformasi dunia pendidikan dan kiprahnya yang makin intens dalam perpolitikan Indonesia di tahun 60an. Sebelumnya mungkin kesenian di dalam kultur NU hanyalah hadrah, pencak silat (seni beladiri), terbangan atau rebana, dan kesenian-kesenian dalam konteks keagamaan lainnya semacam Tilawah Al-Qur’an dan pembacaan syair puji-pujian kepada Nabi SAW.

 

Sejak berdirinya Lesbumi yang diprakarsai tiga seniman film—Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani—pada tahun 1962 terjadi perubahan cara pandang, setidaknya dalam lingkup pragmatis-politik dan kesenian, dalam melihat seni modern seperti puisi, drama, seni rupa, dan film.

 

Sementara sebelumnya, paling tidak sampai tahun 1954 dalam Muktamar NU ke-20 (menurut catatan buku Ahkamul Fuqaha, 2011), bahkan hukum sandiwara dalam konteks propaganda Islam dinyatakan tidak boleh, terutama jika di dalamnya terdapat kemungkaran. Kemungkaran dimaksud tentu saja salah satunya percampuran laki-perempuan dalam satu kegiatan. Dasar pengambilan hukumnya di sandarkan pada nukilan al-Mawahib al-Saniyah dalam al-Asybah wa al-Nazha’ir, “Bila ada halal dan haram (dalam satu kasus) maka yang haram yang dimenangkan” (Ahkamul Fuqaha, h. 292).

 

Di antara tujuan pendirian Lesbumi sebagaimana tertera dalam Anggaran Dasar 1962 itu, saya kira yang cukup menarik dan bernilai progresif adalah poin 4, 5, dan 7 (dari sepuluh poin yang ada). Tiga poin ini bicara tentang mengembangkan kesenian/ kebudayaan  Islam dalam konteks kebudayaan nasional, soal penafsiran yang benar tentang seni Islam, dan mencari titik persesuaian yang bersifat positif pada seni yang bersumber dari luar Islam.

 

Tentu saja tiga poin tersebut memunculkan dinamika tersendiri di dalam tubuh NU sebagai organisasi yang dikesani banyak orang bersifat tradisional. Sementara di satu sisi NU adalah tempatnya para kiai tradisional yang berpegang pada literatur klasik (kitab kuning) dalam menghukumi persoalan yang muncul di masyarakat, di sisi yang lain transformasi pendidikan yang terjadi dan akibat persinggungan NU dengan politik yang keras pra-dan-pasca peristiwa ’65 dalam sejarah kebangsaan Indonesia memunculkan sikap pragmatis yang harus diambil dalam kontestasi politik dan budaya.

 

Saat itu adalah ketika NU dengan Lesbumi-nya menjadi corong atau artileri yang paling efektif dalam melawan gerakan agitatif-agresif Lekra. Kurang lebih demikian kata Misbach Yusa Biran. Hingganya, Misbach yang awalnya komisaris HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam/ Masyumi) memutuskan pindah, setelah diminta, menjadi ketua Komda (Komisariat Daerah) Lesbumi di Jakarta.

 

Begitu pulalah keadaannya yang terjadi di daerah-daerah, terutama yang basis massa Islamnya cukup besar. Kalimantan Selatan atau Banjarmasin (ibukota Kalsel), misalnya.

 

Seperti yang pernah disampaikan dramawan (alm) Adjim Arijadi kepada saya, peristiwa di sekitar ’65 itu sangatlah hingar-bingar. Para seniman Muslim, baik yang tergabung dalam Lesbumi maupun HSBI, berhadap-hadapan secara intelektual maupun fisik dengan mereka yang tergabung dalam Lekra. Bahkan situasi berhadapan ini terus terbawa ke masa sesudahnya, ketika (seperti dinyatakan) Misbach Tamrin mengerjakan proyek monumen di kota Banjarmasin pada tahun ‘90an.

 

Pasca peristiwa ’65, kegiatan Lesbumi kota Banjarmasin memasuki era keemasannya. Di Kalsel sendiri, seperti dinyatakan Abdullah SP (mantan Sekretaris Lesbumi kota Banjarmasin), yang membawa Lesbumi adalah Sastrawan Hijaz Yamani (1933-2001). Hijaz adalah tokoh sastra kelahiran Banjarmasin yang pada tahun 1961 hingga 1970 pindah bekerja di Surabaya. Sambil bekerja, di kota pahlawan ini ia menyelesaikan tingkat sarjana muda-nya di FKIP Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU). Antara tahun 1964-1970 ia menjadi Ketua Komda Lesbumi Jawa Timur. Sebelum ke Surabaya Hijaz sudah dikenal sebagai sastrawan yang aktif dalam dunia kesasteraan Kalsel. Ia pernah menjadi pendiri sekaligus ketua Ikatan Pecinta Seni Sastra Banjarmasin (1954-1957) dan pendiri serta sekretaris pertama Lembaga Kebudayaan Daerah Kalimantan (1957-1960).

 

Abdullah SP mengaku aktif di Lesbumi kota Banjarmasin sejak tahun 1966 hingga 1970. Sebelum ia bergabung Lesbumi sudah hidup di Kalimantan Selatan, kakaknya Hamdani pernah menjadi Ketua Lesbumi Kalsel. Pada masa itu sekretariat Lesbumi, yang mereka “plang-i” Sanggar Ampih Marista, berada di kantor PWNU Kalsel, berupa dua ruangan di bagian belakang yang mereka (para seniman) inapi. Beberapa tokoh seniman Kalsel yang pernah tinggal di “sanggar” itu, selain Abdullah, adalah Ajamuddin Tifani, Bakhtiar Sanderta (Ketua Lesbumi Kota Banjarmasin), Iberamsyah Barbari, dan masih ada beberapa lagi. Mereka ini umumnya adalah seniman serba bisa, karena kegiatan yang padat menuntut mereka untuk itu. Mereka berkegiatan rutin: menulis (puisi, cerpen), melukis, mendekor, dan bermain drama.

 

Salah satu even besar yang pernah mereka selenggarakan, misalnya, pementasan drama Fir’aun dan Masitah (karya dan sutradara Bakhtiar Sanderta) yang mengambil tempat di tengah jalan raya di antara gedung NU dan Masjid Noor, yang memang berseberangan. Pementasan ini menyebabkan jalan raya harus ditutup sepanjang kurang lebih setengah kilometer. Selain itu, anggota Lesbumi selalu mengisi kegiatan-kegiatan NU di Kalimantan Selatan, baik di ibukota Banjarmasin maupun di kota-kabupaten Kalsel lainnya.

 

Ada satu kejadian yang cukup berkesan bagi Abdullah, yang diamini Sirajul Huda (budayawan Kalsel yang juga pernah menjadi anggota Lesbumi), ketika mentas di kota Martapura (Kabupaten Banjar). Martapura sampai sekarang masih menjadi kota santri di mana banyak tokoh ulama besar Kalsel tinggal berdiam.

 

Saat itu Lesbumi menyelenggarakan pentas drama Fir’aun dan Masitah di pasar Martapura. Jarak Banjarmasin-Martapura ketika itu menurut Abdullah tidak “sedekat” sekarang yang bisa ditempuh hanya dalam waktu 40an menit. Mereka ketika itu ketinggalan salah satu peralatan pementasan yang cukup vital fungsinya, dan untuk itu mereka harus berimprovisasi sedemikian rupa menyiasatinya karena tak mungkin pulang ke Banjarmasin untuk mengambil alat dalam waktu yang singkat. Kejadian yang lebih berkesan lagi terjadi besok harinya, setelah malam itu mereka pentas.

 

Para pemain dan kru pementasan dikumpulkan dan dipanggil oleh seorang ulama besar yang saat itu sangat berpengaruh di Martapura dan Kalsel. Mereka ditanya macam-macam, dan pungkasannya mereka disuruh bertobat. Dengan pementasan drama itu mereka telah dianggap kafir, terutama yang paling disoroti adalah pemain tokoh Fir’aun, yaitu seniman Ian Abeba yang juga anggota Banser.

 

Para seniman ini bukannya tak menjelaskan tentang maksud kesenian yang mereka lakoni. Namun begitu, kata Abdullah, apa pun alasan yang mereka kemukakan tak dianggap oleh sang ulama, sehingga mereka kemudian hanya diam dan pasrah disuruh tobat.

 

Nama sanggar Ampih Marista bukannya tanpa alasan mereka jadikan plang nama. Kehidupan seniman ala bohemian saat itu yang penuh kesusahan secara materi beserta persoalan idealisme yang mengikutinya sudah jadi bagian yang melekat pada diri mereka. Dan semua itu terasa hilang ketika mereka berkumpul, berkarya dan bercengkerama di sekretariat Lesbumi ketika itu. Ampih marista sendiri bahasa banjar yang artinya “selesai penderitaan”.

 

Namun segala keramaian dan dinamika kesenian ini akhirnya harus “selesai” pada awal ’70an. Politik praktis yang makin menyeret NU ke lingkaran puncak di Kalsel mengecewakan mereka. Idealisme kesenian dan sikap atau janji politik yang tak juga mengangkat mereka ke taraf yang lebih baik, membuat mereka membubarkan diri dan beberapanya kemudian bergabung ke Sanggar Budaya Kalsel yang pada masanya berafiliasi ke HSBI. Bakhtiar Sanderta, tokoh dan Ketua Lesbumi kota Banjarmasin, sendiri di tahun 1990an menjadi Kepala Taman Budaya Kalsel yang paling dicintai hingga akhir hayatnya, dan namanya diabadikan menjadi nama panggung terbuka di kawasan Taman Budaya Kalsel saat ini. (Hajriansyah)