Fragmen

Tan Kim Liong, Kader NU dari Peranakan Tionghoa

Jumat, 16 Februari 2018 | 13:01 WIB

Sejak awal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) didesain untuk semua suku bangsa. Tidak hanya suku Jawa, Madura atau Melayu saja. Tapi juga untuk keturunan Arab, Eropa atau bahkan peranakan Tionghoa selama beragama Islam dan menganut Ahlussunnah wal-Jama'ah. Tak heran jika ada kader-kader NU cukup beragam. Salah satunya ada yang berasal dari peranakan Tionghoa dan memiliki reputasi di tingkat nasional, yaitu Tan Kim Liong. 

Benny G. Sutiono dalam bukunya Tionghoa dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah Orang Tionghoa di Indonesia (TransMedia: 2008) menyebut Tan Kim Liong lahir di Tanah Grogot, Kalimantan Timur pada tahun 1925. Setelah menamatkan SMA, ia lantas merantau di Jakarta (hal. 768)

Di Jakarta, Tan Kim Liong melanjutkan pendidikannya di Akademi Wartawan dan Universitas 17 Agustus 1945. Lalu, ia menjadi wartawan foto di surat kabar Suluh Indonesia. Kemudian ia mengundurkan diri dan memilih untuk menjadi seorang pengusaha swasta. Ia menekuni usaha eksportir kayu jati dan berhasil mencapai kesuksesan.

Pada perkembangan selanjutnya, Tan Kim Liong menjadi seorang mualaf. Ia masuk Islam di bawah bimbingan Rais ‘Aam PBNU KH. Wahab Hasbullah. Ia lantas menunaikan ibadah haji dan berganti nama menjadi Mohammad Hasan sebagaimana saran dari pembimbingnya, Kiai Wahab.

Ada kisah menarik ketika Tan Kim Liong menunaikan haji. Sebagaimana diceritakan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren (LKiS: 2013), ibadah haji yang dijalani oleh Tan bertepatan dengan cuaca Mekkah yang begitu terik. Suhunya mencapai 45 derajat Celcius. Banyak calon haji yang mengeluh kepanasan (hal 606).

"Mengapa saudara-saudara mengeluh padahal seharusnya sejak dari Tanah Air saudara-saudara sudah mempelajari situasi Arab Saudi dan siap mental untuk mengalami udara panas," sergah Tan.

Untuk mengatasi situasi demikian, Tan meminta para pembantu syekh haji untuk membeli 10 balok es batu dan 4 buah kipas angin yang menggunakan batere. Balok es ditaruh di tengah tenda dan dikelilingi oleh kipas angin yang menyala. Uap es pun memenuhi seluruh tenda dan mampu meredam hawa panas nan terik di luar. Semua jamaah mengucapkan terima kasih atas ide briliannya tersebut.

Tan Kim Liong tak hanya menjadi sekadar mualaf yang pasif. Tapi juga turut aktif dalam kegiatan-kegiatan Nahdlatul Ulama. Ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi dan menjadi partai tersendiri pada 1952, ia pun turut terlibat.

Latar pendidikan Tan Kim Liong sebagai lulusan Akademi Wartawan dan juga kemampuan menejerialnya sebagai seorang pengusaha sukses dibutuhkan oleh NU tatkala menerbitkan surat kabar Duta Masyarakat. Tan ditunjuk sebagai pimpinan direksi perusahaan harian yang menjadi corong informasi dan propaganda partai NU tersebut. 

Meski memiliki jabatan yang cukup strategis, Tan Kim Liong tak pernah mencampuri urusan redaksional. Ia fokus menata keuangan perusahaan dan menangani jaminan sosial para karyawannya. Selain itu, ia juga mengurusi perihal percetakannya.

Keterlibatan Tan Kim Liong di Duta Masyarakat menjadi pintu masuk menuju dunia politik. Pada Pemilu 1955 yang menentukan anggota DPR RI, selain ditempuh melalui jalur pemilihan umum, juga ditentukan pemilihan khusus dari kalangan minoritas. Aturan tersebut diadaptasi dari "vreemde oosterlingen" di masa kolonial. Di mana orang-orang dari Asia Timur Asing berhak mengirimkan wakil-wakilnya.

Aturan yang diterapkan oleh Presiden Soekarno tersebut, membuka peluang partai-partai besar hasil Pemilu 1955 untuk menambah wakilnya di DPR yang berasal dari kalangan minoritas sebagai diatur di atas. Pada saat itu, NU mendapat tambahan dua kursi yang semuanya diberikan kepada etnis Tionghoa. Yaitu kepada Tan Kim Liong dan Tan Eng Hong yang dikenal dengan nama Eddy. Keduanya dilantik pada 5 Desember 1956.

Kiprah selanjutnya dari Tan Kim Liong atawa Haji Mohammad Hasan tak banyak dicatat. Dalam kajian sejarah ke-NU-an, tak lagi dijumpai namanya. Entah karena silap hingga tak tercatat atau karena faktor lainnya. Namun yang pasti, keterlibatan Tan Kim Liong dalam berjuang di NU menjadi sebuah bukti penting hubungan harmonis NU dengan semua suku bangsa. Tak ada resistensi. NU menjadi wadah besar bagi umat Islam dari manapun asalnya. (Ayung Notonegoro)