Internasional

Akhirnya Kami Bisa Sahur di Pesawat Menuju Korea Selatan

Senin, 10 Maret 2025 | 08:00 WIB

Akhirnya Kami Bisa Sahur di Pesawat Menuju Korea Selatan

Menu sahur di pesawat menuju Korea Selatan. (Foto: NU Online/Mundzir)

Beberapa hari yang lalu, tepatnya di hari Sabtu (1/3/2025), pukul 16.30 WIB saya bersama 7 orang lainnya mulai meninggalkan Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya 164, Jakarta untuk menuju ke Korea Selatan.

 

Kami sedang melaksanakan tugas dakwah di Korea Selatan sebagai delegasi dari Lembaga Dakwah (LD PBNU) yang bekerjasama dengan Lazisnu PBNU dalam agenda Dai Go Global 1446 H / 2025 M. 


Kami memasuki kawasan Bandara Soekarno-Hatta pukul 17.09 WIB. Jalanan terasa lengang, mungkin karena hari itu adalah hari Sabtu sehingga kami bisa sampai bandara tanpa ada kemacetan sama sekali. 


Setelah berfoto sebagai pemenuhan laporan administrasi selesai, kami siap-siap berbuka puasa di kursi tunggu. Beberapa kursi yang saling berhadapan memudahkan kami untuk saling bertatap muka. Salah satu dari kami, Ust Ahmad Fadhilah memimpin pembacaan fatihah yang dikhususkan kepada para pendiri dan sesepuh Nahdlatul Ulama kemudian doa H. Abdul Kholiq Irfan. 


Kami berharap misi dakwah ini adalah misi yang diridhai Allah, Nabi Muhammad dan pada muassis NU. Lalu kami shalat maghrib di mushala bandara dengan jama’ taqdim serta melakukan check in maskapai. 


Sembari menunggu pesawat, saya menyempatkan untuk live TikTok dengan kajian kitab Al-Busyra yang menjelaskan tentang manaqib istri Rasulullah yang pertama, Sayyidah Khadijah al-Kubra. Hal ini sekaligus pemenuhan tugas saya untuk mengajar para teman santri di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang yang saya tinggalkan untuk program dari Go Global ini. 

 

Saya sendiri sudah merasa yakin bahwa saya nanti akan sahur di atas pesawat. Saya hanya membayangkan sebagaimana saya naik pesawat yang biasa saya tumpangi yaitu pesawat domestik, atau internasional paling hanya dengan tujuan umrah. Kedua jenis pesawat ini, sementara waktu, bagi saya tidak pernah ada kendala soal makanan. 

 
Ustadz Ahmad Mundzir bersama dai lain sedang santap sahur di pesawat menuju Korsel. (Foto: dok. pribadi)
 

Pesawat yang saya tumpangi adalah pesawat komersial Asiana Airlines, sebuah maskapai yang berbasis di Korea Selatan. Saya tidak mengecek apakah pesawat ini besutan boeing atau airbus. Di dalam pesawat, terdapat partisi yang memisahkan antara depan dengan belakang.

 

Sebanyak 9 kursi berjajar dengan dikasih ruang sela antara 3 kursi untuk lalu lintas penumpang dan awak pesawat. Ustadz Ahmad Fadhilah mendapatkan kursi 38A. Dia duduk persis di samping jendela. Sebelah kanannya adalah Ustadz Imamudin Mukhtar. Sedangkan saya mendapatkan kursi duduk nomor 38 C yang berarti saya duduk di tepi jalan. 


Sebelum pesawat lepas landas, Ustadz Imam bertanya kepada saya, “Ini makannya gimana? Halal tidak, ya?” 

 

Mendapatkan pertanyaan itu, saya yang baru kali pertama naik pesawat dengan maskapai ini jadi kepikiran “oh iya ya?” Gumamku. Lalu kami kemudian mendiskusikan itu sebentar. 


Setelah pesawat lepas landas, tidak lama setelah lampu tanda sabuk pengaman yang berada di atas kepala sudah mulai redam, para awak dengan sigap membagikan roti berbungkus plastik wrap tanpa merk khusus dan tanpa label halal di sana. 


Awalnya kami menerima semua roti sandwich, tapi Ust Imam kemudian menanyakan komposisinya apakah ada beef (daging) atau semacamnya. Kami melihat isinya ada semacam sosis di sana. Pramugari kemudian menjawab “I'll check it”. 


Ia pergi ke belakang. Tidak lama berselang, ia kembali menghampiri kami dalam durasi singkat. Tempat duduk kami berada di kursi baris ke lima dari belakang, sehingga sangat dekat dari perlengkapan mereka di belakang.


Ia presentasikan menu di tablet dengan menunjukkan daftar komposisi sandwich yang sudah di meja lipat depan kami yang sebenarnya sudah siap santap. 


Saya mencoba berterus terang atas apa yang dikehendaki teman yang berada di samping saya. Saya sampaikan, “Are there are halal food?” (Apakah di menu-menu ini ada daftar persediaan makanan halal?)


Dia menjawab “No,” 


Ia menyatakan, jika ada yang membutuhkan makanan halal bisa berpesan terlebih dahulu saat masih di bandara pada saat melakukan pemesanan. 


Saya katakan kepada dia, tidak masalah. “Thank you”. Kami memahami kondisi ini dan mereka memahami apa yang kami alami. 

 

Kami yang berdampingan bertiga meminta kepada pramugari untuk memberitahu rombongan kami yang menggunakan jaket persis dengan jaket yang kami kenakan untuk menyampaikan soal ini. Dia pun menyanggupi hal tersebut. 


 

Menu sahur di pesawat menuju Korsel. (Foto: NU Online/Ahmad Mundzir)
 

Sandwich akhirnya kami kembalikan. Kami hanya mengambil air minum seperti jus jeruk dan air putih yang tidak masuk kategori kritis dalam kacamata halal di Indonesia. 


Kami berpikir malam ini kita tidak akan sahur. Kami tidak tahu, jadwal makan besar nanti akan keluar jam berapa dan menunya apa. Namun, sandwich yang tadi memang dengan jelas mengatakan bahwa itu ‘non halal food,’. 


Di tengah tidur, kami dibangunkan. Makan besar sudah mulai dibagikan. Teman yang berada di samping saya tanya kepada pramugari yang membagikan makanan kepada kami, “Jam berapa sekarang  di Korea?,” 


Dia jawab “04.20,” 


Di antara kami ada yang ingat pada saat sebelum terbang, sudah mengecek jam berapa waktu Subuh di Korea Selatan. Kala itu, shubuh bertepatan dengan pukul 06.38, yang berarti masih ada cukup waktu untuk sahur. 


Kami cek makanan apa yang disajikan, apakah kritis atau non-kritis. Yang tersaji di atas nampan kotak yang ada di depan kami ada 4 menu utama, yaitu omelete dengan salah satu bahannya adalah kentang, buncis, bawang bombay, dan bahan lain yang tidak ada dagingnya. Di atasnya tergeletak saus saset merk Belibis dengan label halal. 


Di samping kiri omelete, ada roti bulat berbungkus plastik tanpa merk, tapi hanya tertulis tanggal kadaluarsanya saja. Saya cek experied date, aman. Di bagian samping yang menjauh dari arah saya duduk, terdapat dua mangku persegi empat dengan sudut tidak terlalu lancip, satunya tersaji 3 potong buah yang terdiri dari nanas, melon dan pepaya. Sebelah kanannya yogurt dengan merk Biokul dengan label halal. 


Kami meyakini makanan basah ini diproduksi di Jakarta dengan penduduk mayoritas muslim, bahan yang disajikan non kritis. Sedangkan yang kritis sudah ada label halalnya. Akhirnya, di waktu yang tersisa sedikit ini, kami masih mendapatkan kesempatan sahur di atas pesawat. Alhamdulillaaaah.