Internasional

Masjid-Masjid NU di Daegu Korsel: Kisah Perjuangan dan Persaudaraan

Jumat, 14 Maret 2025 | 16:30 WIB

Masjid-Masjid NU di Daegu Korsel: Kisah Perjuangan dan Persaudaraan

Warga NU yang sedang mengikuti Kajian Buka Bersama rutin setiap Sabtu - Ahad selama bulan Ramadhan. (Foto: dok. NU Online/Ahmad Mundzir)

Hampir setengah Ramadhan saya menjalani program Dai Go Global LD PBNU. Saya menginap di Masjid Al Ihsan, Waegwan, semacam kelurahan jika dianalogikan di Indonesia. Waegwan atau kalau orang Korea membacanya dengan bunyi ‘Wegan’ sebagaimana orang melafalkan ‘sedan’ berada di Kabupaten Chilgok, yang merupakan bagian dari Provinsi Gyeongsang Utara. 


Di dekat Waegwan, terdapat kota Metropolitan terbesar keempat di Korea Selatan, namanya Daegu. Jarak antara Waegwan-Daegu sekitar 23 km atau setara sekitar 20 menit perjalanan mobil. 


Secara hitungan total, jumlah muslim di Korea Selatan sekitar 200.000 orang atau setara dengan 0,38% total penduduk Korea Selatan saat ini diperkirakan sekitar 51.685.629 jiwa. Tentu, komunitas Muslim ini menghadapi tantangan unik dalam menjalankan ibadah sehari-hari.


Kali ini, saya berkesempatan ngobrol bersama sekelompok pengurus masjid Al Ihsan, Waegwan. Mereka adalah Ja’far Shodiq, H. Arif Kurniawan, Efendi, dan H. Heru, yang masing-masing memiliki peran penting dalam menghidupkan masjid dan menjaga semangat Islam di tanah asing.


Menurut cerita Efendi, di kawasan Daegu dan sekitarnya terdapat 14 masjid yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Indonesia Daegu (FKMID). Yang menarik, seluruh masjid ini menganut dan mengamalkan tradisi Nahdlatul Ulama (NU), menciptakan nuansa khas Indonesia di tengah negeri K-Pop.

 
Suasana Masjid Al Ihsan Waegwan, Korea Selatan. (Foto: dok. pribadi)
 

Salah satu tantangan terbesar Muslim di Korea adalah bagaimana mereka bisa melaksanakan shalat di tempat kerja. Ja’far yang juga bertindak sebagai amir (ketua takmir) masjid menjelaskan, "Untuk teman-teman yang sedang bekerja, biasanya kita harus izin dulu kepada bos atau mandor untuk meminta waktu melaksanakan shalat." Namun, tidak semua atasan bersikap toleran. "Ada yang mengizinkan, ada pula yang menentang," tambahnya.


Menurutnya, secara mayoritas memang memberikan izin, tapi ada sebagian yang tidak mengizinkan. Bahkan terkadang, apabila sudah ada izin, ada pekerja lain yang asli Korea kurang bisa menerima. 


“Jadi ada sebagian (kecil) yang ‘iri’, kenapa dia diperbolehkan izin di tengah jam kerja,” ujar Ja’far. 


Kreativitas menjadi kunci. Beberapa pekerja Muslim terpaksa "mencuri waktu" untuk shalat, misalnya dengan berpura-pura ke toilet. "Shalatnya kita biasanya cari tempat sembunyi yang orang tidak tahu," ungkap Ja’far. Mereka bahkan membawa alas seadanya, seperti kardus atau plastik, dan menggunakan aplikasi ponsel untuk menentukan arah kiblat.


Yang menarik, aplikasi apa yang biasa dibuat pegangan untuk waktu shalat, kiblat atau pembantu ibadah lain, dia menjawab “Aplikasi NU Online.” Tentu, sebagai ‘orang NU Online’ saya sangat bersyukur mendengar jawaban ini. 


Arif Kurniawan, salah satu pekerja migran Indonesia yang cukup lama di Korea bercerita, tantangan lain adalah pelaksanaan shalat Jumat. Dengan waktu istirahat yang terbatas, umat Muslim harus menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah Jumat dalam waktu singkat.


"Seperti pada Jumat (7/3/2025) lalu. Waktu masuk shalat Jumat itu pukul 12.38, sedangkan pekerja harus sudah sampai di kantor lagi paling lambat pukul 13.00. Jadi, bagaimana azan, khutbah, shalat, sampai doa, semuanya harus selesai dalam 13 menit, supaya pukul 13.50 bisa selesai," jelas Pak Arif Kurniawan. 


Ini membutuhkan perencanaan yang matang dan kerjasama seluruh jamaah. Meski demikian, semangat beribadah tetap tinggi. Jamaah datang dari berbagai negara, bahkan pernah ada tentara Amerika Muslim yang ikut shalat Jumat.


Di tengah tantangan, komunitas Muslim Indonesia di Daegu berhasil membangun jaringan yang kuat. Efendi, yang bertanggung jawab di bagian media dan komputer, menjelaskan bahwa dari 14 masjid di Daegu, dua di antaranya sudah berstatus permanen, sementara yang lain masih menyewa.


"Kami masih mengikhtiarkan untuk membebaskan masjid," ujar Efendi.

 
Musholla An Noor yang difungsikan sebagai masjid di Daejeon, Korea Selatan. (Foto: NU Online/Ahmad Mundir)
 

Salah satunya adalah Masjid Al Ihsan, yang sedang dalam proses pembebasan lahan yang sedang mereka gunakan itu ditawarkan oleh pemiliknya dengan senilai sekitar 6 miliar rupiah.

 

Kegiatan keagamaan di masjid-masjid ini sangat aktif. Setiap malam-malam tertentu ada acara berbeda, mulai dari Yasinan, pembacaan Al-Barjanji, hingga pembacaan surat Al-Waqiah, Al-Mulk, dan Ar-Rahman. "Kegiatannya konsisten berjalan setiap akhir pekan," tambahnya.


Kegiatan tidak hanya terpusat di masjid. H. Heru menjelaskan bahwa mereka juga mengadakan Yasinan di asrama-asrama pabrik. "Biasanya setelah gajian, kami mengirim perwakilan dua orang ke berbagai pabrik untuk mimpin kegiatan," ujarnya. Ini menjadi cara untuk menjangkau Muslim yang mungkin tidak aktif di masjid.


Kegiatan lain yang menunjukkan semangat komunitas adalah program khatam Al-Quran setiap dua minggu. "Per orang membaca satu juz, jadi setiap dua minggu sekali teman-teman khatam Al-Quran," ungkap Heru dengan bangga.


Selain itu, ada juga kegiatan olahraga yang melibatkan warga Indonesia yang ada Waegwan, baik Muslim maupun non-Muslim. "Cara merangkulnya melalui olahraga," jelas Pak Heru. Inisiatif ini dikenal dengan nama "Waegwan Bersatu".