Nasional

Akademisi Unusia: Hukum dan Demokrasi di Indonesia Menurun

Rabu, 15 September 2021 | 11:00 WIB

Akademisi Unusia: Hukum dan Demokrasi di Indonesia Menurun

“Persamaan di mata hukum ini ada atau tidak di Indonesia? Kalau ada, berarti sudah sesuai dengan asas demokrasi. Tapi kalau tidak ada, ini permasalahan yang harus dituntaskan." (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Pada setiap 15 September, warga dunia memperingati Hari Demokrasi Internasional. Dalam sistem negara demokrasi, terdapat sistem peradilan yang disebut equality before the law atau asas persamaan di mata hukum. 


Terkait itu, Akademisi Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Said Muhtar menuturkan bahwa asas persamaan di mata hukum di Indonesia belum berjalan secara maksimal. Bahkan ia mengatakan, konteks hukum dan demokrasi di Indonesia saat ini menurun. 


“Persamaan di mata hukum ini ada atau tidak di Indonesia? Kalau ada, berarti sudah sesuai dengan asas demokrasi. Tapi kalau tidak ada, ini permasalahan yang harus dituntaskan. Saya melihat bahwa equality before the law di Indonesia itu belum maksimal diterapkan. Asumsi pribadi saya, konteks hukum dan demokrasi di Indonesia ini menurun,” kata Muhtar kepada NU Online, Rabu (15/9/2021). 


Salah satu penyebab hukum di Indonesia menurun adalah soal penegakan hukum kepada pelaku korupsi yang mendapat keringan hukuman akibat mendapat banyak cercaan dan hinaan dari masyarakat. Padahal, tidak ada ketentuan hukum yang mengatur soal itu. 


“Bukankah mem-bully pejabat koruptor itu adalah demokrasi dan kebebasan? Wajar dong ketika rakyat itu mem-bully koruptor, karena koruptor memang menjadi penyakit luar biasa. Nah penegakan hukum melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang harus dikuatkan dalam posisi demokrasi ini, bukan malah dilemahkan,” katanya. 


Menurutnya, di Indonesia masih banyak koruptor yang meresahkan masyarakat sehingga KPK harus diperkuat. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk memperkuat KPK adalah dengan memasukkan nomenklaturnya ke dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 


“KPK yang nomenklaturnya saat ini tidak ada di UUD, maka untuk bisa meningkatkan itu maka harus dicantumkan di UUD via amandemen. Mumpung ada isu amandemen UUD. Ini baru yang dinamakan iktikad baik,” tegas Kepala Program Studi (Kaprodi) Ilmu Hukum Unusia Jakarta itu. 


“Kalau penguasa di negeri ini ingin mengamandemen UUD dan menguatkan penegakan hukum terhadap pemberantasan korupsi maka KPK harus ditulis di UUD. Itu bagus dan baru peningkatan (soal penegakan hukum),” imbuhnya.


Namun ia menyayangkan, saat isu amandemen UUD 1945 ini mencuat tetapi justru yang muncul adalah soal perpanjangan periode ketiga bagi presiden. Jika ini terjadi maka jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. 


“Ini kan lucu. Demokrasi ngomong kesejahteraan, kesejahteraan itu adalah memberantas korupsi, tetapi dialihkan demokrasi itu adalah soal pembagian kursi dan wacana untuk perpanjangan (masa jabatan presiden) periode ketiga. Itu lucu sekali,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Alhafiz Kurniawan