Nasional

Hinaan Masyarakat Ringankan Hukuman Koruptor, Akademisi: Ini Lelucon Dunia Hukum

Selasa, 24 Agustus 2021 | 09:00 WIB

Hinaan Masyarakat Ringankan Hukuman Koruptor, Akademisi: Ini Lelucon Dunia Hukum

Ilustrasi hukum. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Mantan Menteri Sosial (Mensos) RI Juliari Batubara, terdakwa kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) Covid-19, dijatuhi vonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) beralasan, hukuman tersebut dijatuhi karena terdakwa menderita setelah mendapat berbagai hinaan dari masyarakat. 


Menanggapi itu, Akademisi Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Muhtar Said menyebut vonis hukuman untuk Juliari Batubara itu merupakan lelucon dunia hukum karena ternyata hinaan dapat meringankan hukuman bagi koruptor di masa krisis pandemi Covid-19. 


“Ini menjadi lelucon dalam dunia hukum. Hakim mengajarkan kita untuk memuji koruptor supaya (hukumannya) itu diperberat. Karena logikanya ketika kita mencaci koruptor, berarti kan hukuman diringankan. Nah, hukuman 12 tahun ini belum cukup, semestinya vonis untuk korupsi dalam keadaan darurat bencana itu hukuman mati,” tuturnya kepada NU Online, Selasa (24/8/2021).


Menurutnya, hinaan masyarakat yang menjadi alasan untuk meringankan hukuman bagi koruptor bansos di masa Covid-19 ini sangat memalukan bagi seluruh sarjana hukum di Indonesia.


“Kalau begini, universitas atau fakultas hukum bisa tutup itu. Ini harus menjadi kajian bagi para ahli dan sarjana hukum untuk mendefinisikan hal-hal yang meringankan (hukuman) itu,” ujar Kepala Program Studi (Kaprodi) Ilmu Hukum Unusia Jakarta ini. 


Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa hinaan masyarakat tidak bisa dijadikan alasan untuk meringankan beban hukuman. Di antara hal-hal yang bisa meringankan hukuman, kata Muhtar, jika terdakwa dapat membongkar kasus yang terkait dengan dirinya, dalam hal ini dana bansos. 


“Misalnya si terdakwa ngomong, ‘yang korupsi bukan saya saja tetapi ada orang atau pihak lain’. Dalam bahasa hukumnya disebut justice collaborator. Ini yang bisa meringankan hukuman buat terdakwa. Bukan hinaan dari masyarakat. Tidak ada aturan mengenai itu,” katanya.


Hal lain yang dapat meringankan hukuman, lanjut Muhtar, jika terdakwa mampu bersikap kooperatif. Ketika disidik atau diperiksa, misalnya, terdakwa menyatakan siap untuk hadir dalam setiap persidangan dan mengakui kesalahan yang telah dilakukannya.


“Misalnya, si koruptor itu mengatakan ‘ya saya menerima saya bersalah saya besok tidak akan melakukan kesalahan lagi dan besok akan menjadi juru kampanye antikorupsi’. Nah itu bisa meringankan,” terang Muhtar.


Dijelaskan, hal-hal yang dapat meringankan hukuman itu harus bersifat kemanfaatan bagi masyarakat. Sebab dalam hukum terdapat tiga hal yang menjadi ukuran dari penjatuhan vonis yakni kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. 


“Nah, kalau untuk kemanfaatan (misalnya) tindakan-tindakan terdakwa itu untuk kemanfaatan orang banyak atau artinya membongkar kasus, itu kan kemanfaatan dan bisa meringankan. Tetapi kasus bully-an ini tidak ada kaitannya dengan kerugian negara,” jelasnya.


Muhtar menegaskan, Indonesia adalah negara hukum. Sebab, hukum di negeri ini menjadi panglima tertinggi. Karena itu, ia sangat berharap terhadap penegakan hukum seadil-adilnya untuk siapa pun, tanpa pandang bulu, termasuk kepada para koruptor. 


Ia juga berharap kepada Presiden Joko Widodo untuk fokus pada penegakan hukum. Lembaga-lembaga terkait dengan penegakan hukum mesti diperkuat melalui berbagai kebijakan negara. Di antaranya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
 

“Presiden juga harus mengevaluasi kinerja bawahannya untuk memperkuat pengawasan dan mempertajam penindakan. Sudah tahu ini korupsi di zaman pandemi, tetapi KPK malah diperlemah. Jadi, dalam konteks ini, presiden sebagai kepala negara bukan sebagai kepala eksekutif,” pungkasnya.


Diketahui, Juliari dinilai terbukti menerima suap senilai Rp32.482.000.000 terkait penunjukan rekanan penyedia bansos Covid-19 di Kementerian Sosial. Ancaman untuk perbuatan ini termaktub dalam Pasal 12 huruf b Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Ancaman maksimal dalam pasal ini yakni pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun. 


Namun, kini terdakwa hanya divonis pidana 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Juliari juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar subsider 2 tahun penjara, serta pencabutan hak politik selama 4 tahun. Putusan itu diketok Ketua Majelis Hakim Muhammad Danis dengan hakim anggota Yusuf Pranowo dan Joko Subagyo.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF