Nasional

Di Puja Mandala Bali Tempat Ibadah 5 Agama Dibangun Tanpa Sekat, Hanya Miliki Satu Halaman

Selasa, 1 November 2022 | 08:00 WIB

Di Puja Mandala Bali Tempat Ibadah 5 Agama Dibangun Tanpa Sekat, Hanya Miliki Satu Halaman

Pusat tempat ibadah di Puja Mandala Bali. (Foto: dok. Local Guides Bali)

Jakarta, NU Online

Pesona Bali, negeri seribu pura, banyak menarik perhatian para wisatawan mancanegara untuk berkunjung. Bali yang termasyhur sebagai “surga” dunia memiliki banyak hal menarik, salah satunya adalah kompleks rumah peribadatan Puja Mandala. 


Puja Mandala yang terletak di Desa Kampial, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali tak hanya merefleksikan keindahan alamnya saja, tapi juga menjadi miniatur kerukunan hidup beragama di Indonesia, sebuah relasi harmonis yang sungguh hidup dan dinamis, lahir dari relung jati diri masyarakat dan penduduknya.  


Di halaman kompleks Puja Mandala kerukunan antarumat beragama secara hakiki terjalin dalam suasana informal, lumrah, dan terinternalisasi dalam keseharian hidup. Di sini, perayaan ekaristi (perayaan misa) seringkali diselingi suara azan maghrib. Bahkan saat Hari Raya Nyepi, umat Islam tetap melaksanakan shalat Jumat meski tanpa pengeras suara.


Di Puja Mandala rumah-rumah ibadat dibangun tanpa sekat pemisah, memiliki satu halaman, cermin kebinekaan yang menyatu. Lima pusat peribadatan yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, dan Hindu berdiri kokoh di desa yang memiliki pemandangan cantik menghadap Tanjung Benoa ini. 


Kelimanya itu meliputi Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Bukit Doa, dan Pura Jagat Natha. Tempat-tempat peribadatan ini saling berdampingan solid di dalam satu lokasi. 


Dalam penelitian Krishna berjudul Kajian Multikultur: Ide-ide Imajiner Dalam Pembangunan Puja Mandala dijelaskan, Puja Mandala bermula dari keinginan warga Muslim yang umumnya pendatang dari Pulau Jawa yang bermukim di sekitar Benoa dan Nusa Dua untuk memiliki masjid sendiri. Keinginan itu muncul pada 1990. Saat itu mereka merasa kesulitan menjangkau masjid karena yang paling berada di Kuta, jaraknya sekitar 20 kilometer dari tempat tinggal mereka. 


Namun sebagai minoritas, mereka terganjal aturan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 1/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya.


Kabar baik, keinginan pendirian masjid itu didukung oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi saat itu, Joop Ave. Setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan tokoh masyarakat setempat, ia kemudian memita agar dibangun suatu tempat peribadatan bagi lima agama, dengan syarat tanpa sekat dan tinggi tiap-tiap rumah ibadah yang dibangun mesti seragam. 


Itu menunjukkan bahwa setiap pemeluk agama mempunyai hak dan porsi yang sama dalam mengekspresikan transendennya berdasarkan tata cara dan sistem kepercayaan yang diyakini. Meskipun keberadaan Puja Mandala bermula dari keinginan umat Islam yang berasal dari kondisi darurat. Namun tak dapat dipungkiri keberadaan Puja Manda membuat Bali semakin diakui sebagai titik temu kerukunan antar umat beragama semakin diakui oleh berbagai kalangan. 


Keberadaan Puja Mandala juga dianggap sebagai sebuah miniatur kerukunan hidup beragama di Bali secara khusus dan di Indonesia secara umum. Miniatur kerukunan ini tentu memiliki nilai filosofis yang menggambarkan sebuah relasi harmonis yang hidup dan dinamis. Lebih dari itu, secara ontologis, keharmonisan dan kerukunan adalah sebuah khittah atau prinsip dasar yang memang ditegaskan dalam jati diri keberagamaan yang ditetapkan dalam setiap risalah maupun ajaran semua agama.


Nilai-nilai keberagaman di Puja Mandala semakin kuat tergambar ketika azan dan bunyi lonceng yang berdentang berkali-kali menjadi sebuah irama yang sama-sama mewarnai relung peribadatannya yang saling dihargai dan tidak dianggap sebagai gangguan yang bisa merusak kekhusukan praktik peribadatannya. 


Masing-masing pengurus rumah ibadah tidak mempersoalkan bagaimana suara Azan bertalu-talu lima kali dalam sehari semalam. Pun ketika dentang lonceng dari Gereja Bunda Maria berbunyi puluhan kali. 


Namun demikian, ada kesadaran etik yang dipahami bersama bahwa bunyi-bunyian yang menjadi penanda waktu beribadah itu tidak berlangsung secara kaku. Dengan cara ini, pengurus ibadah saling menghargai dan menyampaikan kepada seluruh jamaah yang ingin menjalankan ritual peribadatannya untuk saling memaklumi dan menjunjung tinggi toleransi.


Sampai saat ini, masing-masing umat agama yang ada di kawasan Nusa Dua dan sekitarnya memfungsikan tempat ibadah di Puja Mandala sebagai sarana untuk memupuk toleransi antar umat beragama secara sinergis.

 

Perilaku kesalingan yang ditumbuhkan oleh masing-masing umat beragama tersebut secara sosiologis menggambarkan dua pola interaksi yang sangat dinamis dan mengedepankan semangat kerukunan. Maka tidaklah berlebihan jika Puja Mandala dijuluki sebagai miniatur rahmatan lil 'alamin di Pulau Dewata. 


Pewarta: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad

 

===================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI