Nasional SEJARAH

Jepang Belajar Meriam dari Indonesia

Rabu, 4 September 2013 | 23:03 WIB

Malang, NU Online
Sejarah penyebaran Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari masa perlawanan Islam pada koloni yang berada di Tanah Air. Semangat perlawanan Muslimin dibuktikan, misalnya, dengan meriam-meriam yang ada di Malaka.
<>
“Bangsa ini dulu pembuat meriam, salah jika dikatakan Belanda yang membawa Meriam ke Indonesia,” papar sejarawan Agus Sunyoto dalam diskusi rutin di Pesantren Global, Selasa (03/09).

Penulis yang akrab disapa Romo itu juga menjelaskan, hingga saat ini meriam Indonesia pada masa Majapahit berada di salah satu Museum terbesar New York. Beberapa pasukan dari Negara Eropa seperti Portugis, Belanda, Inggris menyaksikan sendiri kecanggihan meriam yang berada di Malaka.

Pada tahun 1511, lanjut Agus, Demak mengirim Armada dengan kelengkapan senjata meriam. Tidak hanya itu, seluruh pesisir Jawa juga memiliki meriam sebagai pertahanan Negara. “Hanya saja Malaka jatuh ke tangan Portugis dengan cara mengadu domba para petinggi Nusantara saat itu, karena secara persenjataan Portugis kalah,” ujarnya.

Menurut dia, Seratus tahun kemudian, barulah Jepang mengenal meriam dari Indonesia. Pasukan Jepang membawa meriam dari Indonesia dan meniru rakitan meriam-meriam Indonesia saat itu. Kendati demikian, perlawanan-perlawanan terus digencarkan oleh pasukan-pasukan Islam.

Pada tahun 1522 Fatahillah yang merupakan menantu Sunan Gunung Jati menghimpun pasukan untuk melawan portugis. Tahun 1570 perlawanan datang dari S. Baabullah dari Ternate, disusul 1626 Belanda diserang oleh Sultan Agung yang sekarang makamnya dikenal dengan “Mbah Priuk”, 1640 perlawanan dari Sultan Agung Tirtayasa, 1665 hingga 1670 perang Makasar berkecamuk, 1696 perlawanan Suropati digencarkan, 1700 adalah perang Sultan amangkurat IV, dilanjutkan Ronggoprawiridirjo, Patimura, Antasari hingga Diponegoro.

“Dari sini sesungguhnya kekuatan kita tidak bisa ditaklukkan oleh Belanda, namun Belanda menyerang dari segi pemikiran, dengan menggunakan logika Barat untuk menundukkan Indonesia,” terang Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) ini.

Sementara itu, sambung Agus, baru-baru ini muncul pemberitaan jika Belanda ingin minta maaf atas tragedi 1945 atas eksekusi yang dilakukan Belanda. Padahal, menurut penulis buku Atlas Wali Songo itu, kata “eksekusi” dalam bahasa Belanda adalah hukuman mati bagi yang bersalah atas tuduhan kriminal.

“Jelas sekali jika permintaan maaf Belanda merupakan permainan baru politik ala Belanda,” tegas Agus Sunyoto. (Diana Manzila/Mahbib)