Nasional

JPPI Sorot Rencana Kebijakan Sertifikasi Perkawinan oleh Pemerintah

Jumat, 22 November 2019 | 07:16 WIB

JPPI Sorot Rencana Kebijakan Sertifikasi Perkawinan oleh Pemerintah

Ilustrasi pernikahan. (via Line Today)

Bogor, NU Online
Rencana sertifikasi perkawinan oleh pemerintah ditanggapi pro dan kontra oleh beberapa kalangan. Kebanyakan masyarakat belum menyetujui wacana yang digulirkan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy tersebut. 

Karena urusan pernikahan adalah urusan pribadi yang tidak boleh diintervensi secara penuh oleh siapapun. Kebijakan ini juga dinilai hanya akan mempersulit masyarakat karena secara tidak langsung masyarakat harus mendapat restu pemerintah jika ingin melangsungkan pernikahan. 

Koodinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid ikut memberikan tanggapan atas polemik ini. Ia menuturkan lahirnya kebijakan sertifikasi perkawinan menunjukan tidak berhasilnya pendidikan yang dirumuskan oleh pemerintah. 

Padahal kata dia, jika materi-materi pernikahan seperti materi mengenal reproduksi dan pendidikan kedewasaan diajarkan di perguruan tinggi atau di sekolah akan lebih baik dan efektif. 

“Harusnya sudah ada di bangku sekolah, di bangku kuliah, lalu kenapa orang harus belajar lagi tentang itu? Satu contoh misalnya kalau materi perkawinan masuk di lembaga pendidikan, di sana akan diuraikan bahwa laki-laki itu harus paham soal kesehatan reproduksi, bagaimana perempuan punya fungsi hamil, melahirkan, siswa juga diberikan pemahaman bahwa pernikahan bukan hanya hubungan biologis tapi ada pengetahuan kesehatan reproduksi, ada keadilan gender di situ, bagaimana membangun rumah tangga yang baik,” kata Ubaid di Bogor Jawa Barat, Selasa (19/11) sore. 

Abdullah menilai lahirnya kebijakan tersebut menandakan tidak berfungsinya lembaga pendidikan. Di sisi lain, kegiatan penataran oleh pemerintah juga tidak menjamin kehidupan rumah tangga seseorang menjadi sakinah mawaddah warahmah seperti yang diharapkan kebanyakan orang. 

Selain itu, pendidikan terkait dengan hal itu kata Abdullah Ubaid dapat diperoleh dari banyak hal tidak dengan pelatihan atau bimbingan pra nikah yang diwajibkan pemerintah saja. Apalagi sertifikat perkawinan oleh pemerintah rawan dipalsukan, dengan begitu kegiatan hanya akan memperbesar masalah-masalah di masyarakat.  

“Tahulah kualitasnya pelatihan-pelatihan yang diadakan kualitasnya kayak gimana, kemampuan trainearnya juga seperti apa, itu masih bermasalah, apalagi mau dibuat seperti ini,” ujarnya menambahkan. 

Ia mempertanyakan, apa yang melatarbelakangi mengapa pemerintah mau mewajibkan bimbingan pra nikah. Menurutnya, jika masalahnya adalah angka perceraian yang tinggi, maka harus ditinjau secara mendalam apa penyebab dari perceraian oleh pasangan suami istri tersebut. 

“Apakah karena tidak pernah diceramahin, bukannya orang setiap minggu diceramahin tentang iman dan taqwa? Apa hubungannya tidak memahami agama dengan perceraian, mungkin caranya yang berbeda,” tuturnya. 

Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, Kemenko PMK mencanangkan program sertifikasi perkawinan. Program sertifikasi perkawinan tersebut nantinya akan menjadi salah satu syarat pernikahan bagi para pasangan yang akan menikah.

Adapun cara untuk mendapatkan sertifikasi tersebut adalah dengan mengikuti bimbingan pranikah. Bagi yang lulus bimbingan, maka ia berhak mendapatkannya dan bisa menikah. Hal sebaliknya, berlaku bagi yang tidak lulus.

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Fathoni Ahmad