Nasional

Mafindo: Adu Argumen Pilpres Boleh, tapi Hoaks Jangan

Senin, 14 Januari 2019 | 11:30 WIB

Jakarta, NU Online

Keragaman bangsa Indonesia dapat menjadi keuntungan dan kerugian. Ia bisa menginspirasi keragaman dan sekaligus menjadi titik rawan dari provokasi dan fitnah, terutama di era digital seperti sekarang ini. Kerukunan dapat berubah menjadi konflik, sementara persatuan dapat menjadi perpecahan akibat adanya penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong atau hoaks.

Dalam keadaan demikian, menurut Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, masyarakat Indonesia sebaiknya menjauhkan diri dari ujaran kebencian di media sosial terutama jelang Pilpres pada April 2019 mendatang.

“Sekarang ini kita dihantui dengan maraknya penyebaran hoaks yang menghancurkan pikiran kemudian membuat permusuhan. Lebih kita sebarkan konten tentang cinta dan damai di medsos agar negeri kita menjadi sejuk dan tenteram,” ujar Septiaji Eko Nugroho di Jakarta, Senin (14/1).

Berkompetisi dan beradu argumen merupakan hak setiap warga negara dan sangat diperbolehkan pada momen pesta demokrasi seperti Pilpres ini. Akan tetapi, lanjutnya, semua orang harus menahan diri dari mengeluarkan kebohongan dan ujaran kebencian.

“Jadi di tahun 2019 ini seharusnya menjadi titik tolak kita bersama untuk dapat bersama-sama melanjutkan hidup kita tanpa menggunakan kebencian, kebohongan, hasut, fitnah di medsos. Dan justru sebaliknya, semua teknologi yang sudah kita bisa gunakan itu seharusnya justru bisa mempercepat kita menjadi negara maju,” ujarnya.

Kuncinya pengendalian diri

Menurutnya, salah satu yang membuat kondisi media sosial makin ricuh adalah ketidakmampuan masyarakat untuk memfilter konten media sosial dengan baik. Karenanya, ia meminta kepada masyarakat untuk menahan diri agar tidak mudah terprovokasi oleh hasutan kebencian. Hal ini bisa dilakukan masyarakat dengan berlatih dan mempraktekkan pengendalian diri ketika menerima informasi atau saat hendak menyebarkan ulang informasi yang diterima.

Pengendalian diri ini, kata Septiaji, sangat penting dilakukan sehingga masyarakat tidak menjadi reaktif dan mudah diprovokasi oleh informasi-informasi yang kadang mengandung unsur hasut atau kebenaran separuh atau yang bertujuan itu mengadu domba untuk membenci orang lain. (Ahmad Rozali)