Nasional

Marak Kasus Kekerasan di Lingkungan Pendidikan pada 2024, Perlu Peran Aktif Semua Pihak

Senin, 30 Desember 2024 | 20:00 WIB

Marak Kasus Kekerasan di Lingkungan Pendidikan pada 2024, Perlu Peran Aktif Semua Pihak

Ilustrasi kekerasan. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Yayasan Cahaya Guru telah melangsungkan webinar yang dihadiri oleh 190 peserta yang terdiri dari pemerintah, tenaga pendidik, aktivis pendidik, peneliti, hingga masyarakat umum. Acara tersebut bertema Refleksi Akhir Tahun Pendidikan Keragaman dan Hak Asasi Manusia: Stop Kekerasan, Masa Depan Perlindungan Guru dan Murid yang dimoderatori oleh Program Officer HAM dan Demokrasi INFID, Syafira Khairani pada Senin (30/12/2024).


Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru (YCH), Muhammad Mukhlisin menyampaikan tujuan acara refleksi akhir tahun tersebut untuk mendokumentasikan dan memublikasi fakta-fakta tantangan pendidikan keragaman sepanjang tahun 2024, meliputi dari diskriminasi dan toleransi, kekerasan, serta perundungan.


“YCH pada tahun 2024 menemukan kasus kekerasan sebanyak 177 kasus dengan korban sebanyak 828 orang, yang hingga meninggal sebanyak 35 orang, dengan 170 orang sebagai pelaku kekerasan,” ujar Mukhlisin.


“Tahun ini Jawa Barat di peringat pertama dengan 53 kasus, tahun 2023 juga provinsi Jawa Barat menjadi peringat pertama dengan 32 kasus,” tambahnya.


Dari data tersebut, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Anggi Afriansyah menjabarkan problem dan kompleksitas pendidikan Indonesia selama tahun 2024.


“Ada enam poin, yang pertama problem klasik akses, inklusivitas, dan kesetaraan pendidikan masih menantang; kemudian isu perundungan dan kekerasan seksual masih mendominasi ruang pendidikan kita; kemudian ada literasi dan tantangan digital,” ujar Anggi.


“Konteksitas pendidikan dan dunia kerja; persoalan guru di ruang pendidikan; dan kegamangan arah kebijakan pendidikan,” lanjutnya.


Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono menyampaikan upaya pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan. Perlunya peningkatan edukasi kepada guru, tenaga pendidik, siswa, hingga orang tua.


Ia juga menambahkan perlunya kebijakan yang tegas antikekerasan di lingkungan pendidikan berupa aturan, sanksi, prosedur, hingga evaluasi rutin yang dilakukan antara sekolah dan orang tua siswa. Menurutnya, peran aktif dan tanggung jawab dari orang tua, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemerintah sangat diperlukan untuk pencegahan kekerasan.


“Tentu perlunya kerja sama lintas lembaga, saling diskusi ini, kita bisa mengarah pada tujuan yang sama mewujudkan generasi emas Indonesia melalui hadirnya satuan pendidikan yang bermutu, yang di dalamnya tidak ada kekerasan,” ujar Aris.

 
Webinar refleksi Akhir Tahun 2024 tentang problem kekerasan di lingkungan pendidikan pada Senin (30/12/2024). (Foto: tangkapan layar)
 

Senada, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamen Dikdasmen) Fajar Riza Ul Haq menyampaikan bahwa salah satu program Kementerian Dikdasmen yaitu memperkuat kembali ekosistem pendidikan dengan menghubungkan pihak orang tua siswa, sekolah, dan kelompok masyarakat.


Menurutnya, dengan memperkuat ketiga pihak tersebut ekosistem pendidikan akan berjalan dengan baik, sehingga tidak ada kesalahpahaman komunikasi yang terjadi.


“Sekolah itu harus memberikan jaminan rasa aman, baik terhadap guru maupun siswa, kita juga tidak ingin tindakan yang berat sebelah, baik kepada guru maupun kepada siswa,” ujar Fajar.


Wamen Dikdasmen itu menggarisbawahi, bahwa pihak orang tua dan sekolah harus memiliki komunikasi yang baik dan aktif.


“Orang tua dan sekolah harus punya komunikasi yang lebih baik, dan segala kebijakan sekolah, misalnya sanksi pendisiplinan, itu dikomunikasikan pihak sekolah kepada orang tua, sehingga kedua pihak ini punya perspektif yang sama,” katanya.