Nasional

Mari Bersama Sejukkan Tensi Politik dengan Berkah Ramadhan

Jumat, 24 Mei 2019 | 08:00 WIB

Jakarta, NU Online
Ramadhan kali ini terasa berbeda karena bertepatan dengan sejumlah kejadian krusial di Indonesia yang berkenaan dengan Pemilu 2019, mulai dari proses pemilihan, perhitungan suara hingga penetapan hasil Pemilu oleh KPU. 

Pemilu yang meniscayakan sebagai kontestasi politik memang bisa menimbulkan perbedaan pilihan politik. Namun ia tidak seharusnya melahirkan ketegangan, pembelahan, bahkan keretakan tali persaudaraan.
 
Wakil Rektor IV Universitas Islam Makassar (UIM)  Muammar Bakry, mengingatkan masyarakat agar bisa menjadikan bulan Ramadan ini sebagai bulan yang mengajarkan penuh rahmah, keberkahan, dan memiliki semangat memaafkan terutama di tengah situasi bangsa yang sedang memanas akibat kontestasi politik Pilrpes 2019. 
 
“Yang perlu saya sampaikan bahwa pemilu yang kita lakukan di Indonesia kemarin itu secara perintah agama sudah kita lalui. Karena Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa, ‘Jika kalian pergi bertiga, maka angkatlah satu di antara tiga itu sebagai pemimpin’. Maknanya bahwa kepemimpinan itu satu hal yang mutlak dalam satu komunitas,” ujar Muammar Bakry di Jakarta, Kamis (23/5).

Menurutnya, dengan apa yang disabdakan Nabi bahwa jika bertiga saja itu wajib ada pemimpinnya, lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta yang tentunya juga harus ada pemimpin. Jika dalam memilih pemimpin itu semua proses dilalui dengan benar, maka tidak ada alasan untuk menolak hasilnya.
 
“Di dalam Islam namanya Syuro atau biasa kita istilahkan musyawarah. Wa Amruhum Syura Bainahum yang artinya kesepakatan-kesepakatan bangsa ini melalui demokrasi yang sudah kita sepakati tentu harus menjadi rujukan hukum dan memiliki kekuatan hukum. Karena itu perintah untuk memiliki satu kepemimpinan itu sudah dilakukan oleh Bangsa Indonesia ini. Jadi hal itu tentunya juga sudah islami,” kata Pemimpin Pondok Pesantren Multidimensi Al-Fakhriyah ini.
 
Menurutnya, bulan Ramadhan kali ini juga terasa sangat istimewa karena aktual dan kontesktual sebagai penyambung keterputusan relasi sosial dan penambal keretakan di masyarakat.

Ia menyebut bahwa bulan Ramadhan ibarat lembaga pendidikan atau madrasah yang punya kurikulum. Nabi Muhammad SAW, menyebutkan bahwa 10 hari pertama dalam Ramadhan memberikan rahmat, dalam 10 hari kedua memberikan maghfirah atau ampunan dan ketiga, yakni Itqun Minan Nar yaitu Pembebasan dari api neraka.
 
“Jadi rahmat yang kita peroleh dari Allah SWT, itu seharusnya kita tebarkan kepada siapapun makhluk di bumi ini. Nabi menyatakan kasihilah semua yang ada di bumi, maka yang di langit akan mengasihi kamu. Jadi puasa yang berbekas bagi seseorang adalah puasa yang bisa menebarkan kedamaian, hubungan yang damai,’ ujar Muammar Bakry.
 
Kemudian kurikulum puasa kedua menurutnya yaitu maghfirah atau ampunan, dengan harapan bahwa orang yang melakukan ibadah puasa akan memiliki jiwa-jiwa yang mudah memaafkan. “Bukan jiwa-jiwa pemarah. Jadi jangan sampai kita berpuasa tetapi efek puasa itu tidak berbekas dalam kehidupan sosial kita di masyarakat,” katanya.
 
Dan kurikulum puasa ketiga yakni itqun minan nar yaitu pembebasan dari api neraka, yang artinya bahwa orang yang memiliki kualitas puasa yang baik adalah orang yang memiliki jiwa empati dan simpati. “Jadi lebih membantu orang yang susah, mudah menolong, bukan justru membuat masalah, tetapi menyelesaikan masalah,” ucapnya.
 
Oleh karena itu menurutnya, puasa yang baik adalah puasa yang memiliki jiwa yang bisa menyelesaikan masalah. Karena itulah puasa ini diharapkan menjadi produktif dalam sosial masyarakat.
 
“Kita harapkan efek puasa dari tiga kurikulum yang utama tadi maka di Ramadhan ini kita dianjurkan untuk berkasih sayang, tidak punya jiwa yang cepat marah, kemudian memiliki hati atau jiwa yang simpati dan empati kepada sesama. Itulah yang seharusnya puasa itu menjadi banyak manfaat dalam kehidupan kemanusian,” pungkasnya. (Red: Ahmad Rozali)