NU Online telah menyajikan sejumlah artikel mengenai puasa Syawal dengan fokus bahasan yang berbeda-beda. Meski terpisah-pisah, penjelasan masing-masing cenderung lebih utuh karena menyertakan kutipan dari kitab mu’tabar dan ragam pendapat ulama.
Tulisan-tulisan tersebut umumnya diburu para pembaca, khususnya jelang dan saat musim Lebaran tiba. Redaksi NU Online kali ini akan merangkum dan meringkas sejumlah penjelasan itu demi kepraktisan.
Hukum dan Keutamaan Puasa Syawal
Sudah cukup masyhur bahwa selepas puasa Ramadhan sebulan penuh dan merayakan hari Idul Fitri 1 Syawal, umat Islam dianjurkan untuk berpuasa enam hari di dalam bulan Syawal. Hal ini mengacu pada hadits shahih riwayat Imam Muslim: “Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan enam hari dari Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun.”
Dengan demikian, status hukum puasa Syawal adalah sunnah bagi orang yang tak memiliki tanggungan puasa wajib, baik qadha puasa Ramadhan atau puasa nazar. Bagi mereka yang punya utang puasa Ramadhan karena uzur (misalnya sakit, perjalanan jauh, atau lainnya), status hukum berubah menjadi makruh. Namun, bagi mereka yang tak berpuasa Ramadhan karena kesengajaan, tanpa uzur, status hukum menjadi haram. Sebaiknya, tunaikanlah dulu puasa wajib, baru kemudian puasa sunnah Syawal.
Mereka yang berpuasa wajib di bulan Syawal tetap memperoleh keutamaan puasa Syawal meski pahalanya tak sebesar yang disebutkan hadits di atas. Sebagian ulama berpendapat, bila luput menunaikan puasa sunnah Syawal di bulan Syawal karena halangan tertentu, seseorang boleh mengqadha puasa enam hari puasa Syawal pada enam hari di bulan lain (Al-Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, I: 654).
Ketentuan Waktu Puasa Syawal
Kapan puasa Syawal dimulai? Idealnya tentu saja enam hari berturut-turut persis setelah hari raya Idul Fitri, yakni tanggal 2-7 Syawal. Tetapi orang yang berpuasa di luar tanggal itu, sekalipun tidak berurutan, tetap mendapat keutamaan puasa Syawal seakan puasa wajib setahun penuh.
Oleh karena itu, seseorang diperkenankan menentukan puasa Syawal, misalnya tiap hari Senin dan Kamis, melewati tanggal 13, 14, 15, dan seterusnya selama masih berada di bulan Syawal. Seandainya seseorang berniat puasa Senin-Kamis atau puasa Ayyamul Bidl (13,14, 15 setiap bulan Hijriah), ia tetap mendapatkan keutamaan puasa Syawal sebab tujuan dari perintah puasa rawatib itu adalah pelaksanaan puasanya itu sendiri terlepas apa pun niat puasanya (Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj).
Bagaimana Niat Puasa Syawal?
Tak sebagaimana puasa Ramadhan, niat puasa Syawal—sebagaimana puasa sunnah lainnya—tak mesti dilakukan di malam hari atau sebelum terbit fajar. Mereka yang malam harinya tak berniat, tapi mendadak di pagi atau siang hari ingin mengamalkan puasa Syawal, diperbolehkan baginya berniat sejak ia berkehendak puasa sunnah saat itu juga. Tentu saja dengan catatan, sejauh yang bersangkutan belum makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak subuh.
Niat tersebut cukup digetarkan di dalam hati bahwa ia bersengaja akan menunaikan puasa sunnah Syawal. Tanpa mengucapkan niat secara lisan, puasa sudah sah. Untuk memantapkan, ulama menganjurkan melafalkannya sebagai berikut:
Untuk niat malam hari:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ (Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah ta’ala).
Untuk niat siang hari:
نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ (Aku berniat puasa sunah Syawal hari ini karena Allah ta’ala).
Mendadak Berbuka sebelum Maghrib
Bolehkah berhenti puasa di tengah jalan karena ada alasan tertentu, misalnya karena sedang bertamu atau menghormati tamu? Boleh. Rasulullah sendiri pernah menegur sahabatnya saat bertamu dan disuguhi makanan tapi ia menolak karena ia sedang berpuasa sunnah. Nabi pun memintanya membatalkan dan mengqadhanya di lain hari (lihat hadits riwayat ad-Daruquthni dan al-Baihaqi).
Para ulama akhirnya merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunnah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunnah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi saw dalam hadits tersebut. Bahkan dalam kondisi seperti ini dikatakan, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, III: 36).
Bila ada indikasi kuat puasa kita tak mengganggu perasaan orang lain atau tak menimbulkan kendala-kendala untuk sesuatu yang juga penting, sebaiknya puasa dituntaskan hingga maghrib. Bila yang terjadi sebaliknya, maka boleh dibatalkan karena masih ada alternatif hari lain untuk menunaikannya.
Editor: Mahbib Khoiron
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua