Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf saat menyampaikan pidato kebudayaan dalam Muktamar Pemikiran NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada Jumat (1/12/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)
Ahmad Naufa
Penulis
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) didaulat memberi Orasi Kebudayaan sekaligus membuka secara resmi forum Muktamar Pemikiran NU 2023 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Jumat (1/12/2023) malam.
Dalam acara yang digagas oleh Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU itu, Gus Yahya mengurai beberapa poin penting. Di antaranya adalah kritik (baca: otokritik) terhadap minimnya narasumber acara Lakpesdam NU ini dari kalangan pesantren, adanya dehumanisasi karena melihat berdasarkan angka (statistik), kemustahilan ideologi di masa depan, koherensi dalam memasuki kancah kompetensi, salah satu tujuan GKMNU, serta maksud Halaqah Fiqih Peradaban.
Berikut ini adalah transkrip lengkap pidato Gus Yahya dalam acara tersebut.
*
Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu alā Rasūlillah Sayyidina wa Maulana Muhammad ibni Abdillah, wa 'alā ālihii wa shahbihi wa man wālāh. Amma ba’ad.
Yang saya hormati Direktur PTKI Pak Zainul Hamdi, sengaja saya sebut duluan, supaya tidak kecil hati. Lagi pula yang tadi disebut semua sebelum dia itu tidak jelas kekiaiannya juga. Yang saya hormati jajaran PBNU yang hadir, para ketua, Pak Ulil Abshara Abdalla, Pak Suaedy, Pak Rumadi, Wakil Sekjen Pak Najib Azca, para pengurus lembaga.
Pada waktu acara ini direncanakan, ini Hasanudin Ali memang masih Ketua Lakpesdam. Tapi saya sudah menandatangani SK baru. Ketua Lakpesdam-nya sudah ganti, sekarang. Tapi jangan berkecil hati, Hasanudin ini, nanti akan saya promosikan untuk masuk pengurus harian. Insyaallah. Sekarang Ketua Lakpesdam-nya Erick Thohir. Ini teman-teman pada bertanya: kenapa Erick Thohir? Karena saya mau Lakpesdam ini menjadi seperti Bappenas.
Kritik Tak Melibatkan Tokoh Pesantren
Bapak Ibu sekalian, saudara-saudara, para peserta Muktamar Pemikiran NU Kedua, yang saya hormati. Alhamdulillah.
Saya disuruh pidato di sini ini sebetulnya dalam posisi dilematis. Pertama, karena ini adalah acara yang diinisiasi secara resmi oleh organ PBNU, yaitu Lakpesdam. Apalagi panitianya Pak Ulil ini sepupu saya. Jadi bagian dari dinasti saya di PBNU ini. Jadi saya ini dibayang-bayangi tuntutan untuk berpidato sedemikian rupa, supaya Muktamar ini kelihatan sungguh-sungguh penting dan mulia. Tapi di pihak lain, saya juga tentu saja dituntut untuk menjaga integritas intelektual saya sendiri sebagai pemikir, karena jelek-jelek begini saya ini juga pemikir. Oleh karena itu, saya akan mulai dengan nggojloki panitia saja dulu.
Tadi diakui oleh Pak Ulil bahwa ini diadakan secara mendadak, dan ini berarti mengkonfirmasi dugaan saya, bahwa ini adalah Muktamar Pemikiran yang dilaksanakan dengan kurang pemikiran, sebetulnya. Karena, pertama, soal timing. Soal timing ini, tadi disebut oleh Pak Inung, bahwa ini menjelang ada Pilpres, sehingga segala sesuatu sebetulnya sensitif. Saya sendiri tidak menghalangi, karena lumayan: ada kegiatan. Yang kedua, memang ada harapan, seperti yang disampaikan Pak Ulil tadi, bahwa ini akan memberikan isi yang berbeda, isi alternatif ke ruang percakapan publik, supaya tidak hanya diisi oleh kampanye saja. Cuma risikonya tetap tinggi.
Apalagi saya lihat ada pembicaranya Savic Ali segala macam, itu kan tim pemenangan, bahaya itu. Maka harus saya tegaskan di sini: Savic Ali ini sekarang sedang dicutikan secara paksa dari PBNU, sehingga apa pun yang dia katakan sama sekali tidak mewakili PBNU. Dan saya akan awasi dengan saksama, kalau ada artikulasi-artikulasi dari kegiatan ini yang dengan cara apa pun bisa ditafsirkan menguntungkan atau merugikan salah satu kompetitor, ini harus diselidiki. Kelihatannya ini bias Savic Ali ada di situ itu, harus dijaga. Ada yang ikut TPN lain tidak ini? Harusnya Nusron juga disuruh ikut mengisi.
Kemudian saya melihat bahwa ini, dari desain yang dikirim ke saya oleh teman-teman panitia, saya melihat ada soal epistemologis yang belum selesai mengenai pemikiran NU ini. Pemikiran itu maksudnya apa? Mikir apa sebetulnya orang-orang ini? Karena saya melihat di situ, walaupun dikatakan bahwa semua orang diundang, semua boleh ikut, semua boleh terlibat percakapan, tetapi narasumber-narasumber yang dipilih itu menunjukkan desain panitia tentang ke mana ini mau dibawa. Dan dari susunan yang saya lihat di situ, wah ini isinya, saya khawatir ini cuma jadi forum ramai-ramainya kelas baru di NU ini yaitu kelas akademia. Apalagi kerja samanya sama PTKAI, PTKI maksud saya, bukan KAI. Saya itu masih ingat-ingat KAI saja saya, mentang-mentang ketua umum. Jadi saya lihat di situ isinya, sebagian besar, seluruhnya, adalah teman-teman dari kalangan akademia, yang ini memang kelas baru di NU ini, dan mungkin sekarang ini masih baru senang-senangnya menjadi akademisi.
Sehingga, misalnya, saya tidak melihat narasumber dari kalangan kiai-kiai pesantren. Orang-orang sepenting Kiai Afifuddin Muhajir, misalnya, sepenting Gus Baha, misalnya, atau Gus Iqdam, seolah-olah mereka ini tidak berpikir atau tidak punya pemikiran tentang masa depan ini. Ada satu yang jelas secara eksplisit disebut kiai di dalam daftar narasumber, itu saja kiai paling tidak jelas seluruh dunia: Kiai jadul Maula. [hadirin tertawa]. Kiai apa, ini. Maka saya kira nanti perlu dibantai urusan ini. Ini pemikiran epistemologinya bagaimana? Karena pemikiran itu bukan cuma hak dari kaum akademia. NU tidak akan sebesar ini kalau kiai-kianya bukan pemikir-pemikir semua. Ini yang SAg-SAg baru ini kan belum lama aja, sebelumnya itu kan kiai-kiai beneran, kayak Kiai Mahfudz Shiddiq.
Dehumanisasi, Melihat Manusia dengan Angka
Bapak Ibu sekalian yang saya hormati, saudara-saudara.
Tapi lepas dari semua itu, kita ini memang sedang menghadapi tekanan-tekanan yang cukup berat dari apa yang kita bayangkan sebagai kemungkinan-kemungkinan masa depan. The future is pressing and becoming even more and more pressing. Sederhana saja, karena masa depan itu tiba-tiba lebih cepat datangnya.
Dulu masa depan itu agak lambat, sehingga kita ini masih bisa agak enak mikirnya. Dulu kuliah itu lulus sampai lama juga tidak masalah, karena masa depan itu lambat, sampai keterusan DO sekalian itu juga tidak apa-apa dulu itu, kayak saya ini. Tapi sekarang ini masa depan datang begitu cepat. Sekarang bisa dibayangkan, mulai dari zaman telepon rumah sampai zaman handphone, itu berapa puluh tahun jaraknya? Dan sekarang tiba-tiba kita dalam beberapa bulan kita harus diterpa dengan teknologi-teknologi terbaru. Perubahan-perubahan terjadi begitu cepat, sehingga masa depan itu memang menjadi terasa lebih menekan, sekarang. Sehingga mungkin ada gunanya kita perbincangkan tentang masa depan ini. Yang penting diobrolkan lah, soal hasilnya bagaimana, itu nanti. Saya selalu bilang sejak awal: kita tidak perlu tidak perlu takut kepada ketidaksempurnaan, yang penting jadi dulu.
Kita harapkan bahwa dengan memulai percakapan ini, kita lihat nanti. Tergantung, kalau percakapannya ini memang berisi hal-hal yang menjadi concern yang nyata dari kalangan yang luas, saya kira ini akan berguna. Tapi kalau yang muncul adalah hal-hal yang hanya bisa ditangkap oleh kalangan-kalangan terbatas saja, apalagi kalau sampai ada bias Savic tadi itu, ini tentu menjadi masalah. Tapi saya bersedia menunggu untuk melihat hasilnya.
Kalau kita berpikir tentang masa depan, sebetulnya ada satu realitas yang sederhana tapi sangat penting, sangat menentukan, bahwa ke depan itu ketika kita memikirkan segala hal, kita berhadapan dengan skala-skala dari unit-unit yang menjadi konsideran pemikiran yang masuk dalam hitungan variabel-variabel itu, dalam ukuran yang besar sekali.
Kalau dulu generasi ayah-kakek kita tahun 50-an, ketika berpikir tentang Indonesia, mereka mungkin hanya memikirkan sekitar antara 70-an juta orang penduduk Indonesia waktu itu. Apalagi memikirkan NU yang cuma 18 persen. Itu berarti cuma sekitar 15-an juta. Hari ini tiba-tiba kita punya 285 juta penduduk Indonesia. Rhoma Irama saja sudah susah dinyanyikan lagunya itu. Dulu tahun berapa itu 150 juta. Itu kalau dinyanyikan hari ini not-nya bisa tidak cocok itu: 285 juta, repot. Dan orang yang mengaku NU – saya tidak tahu datanya Hasan ini – datanya Denny JA menyatakan 56,9 persen dari penduduk Indonesia mengaku NU. Datamu berapa? 59,6? Karena yang survei orang NU, jadi angkanya lebih optimis. Itu 56,9 saja sudah 160-an juta. Jadi skala satuan pertimbangan itu menjadi besar sekali. Mau tidak mau, ini berpengaruh kepada cara kita berpikir tentang fenomena-fenomena masyarakat yang terjadi.
Pertama, saya kira, yang jelas menjadi konsekuensi ini adalah bahwa angka-angka itu menjadi sentral dalam berbagai macam pertimbangan, karena skalanya besar sekali. Sehingga orang tidak punya pilihan selain membuat pertimbangan berdasarkan angka-angka statistik: 56,9 persen, 59,2 persen, dan seterusnya. Ini ada masalah, karena orang kemudian terbiasa membuat pertimbangan berdasarkan angka-angka.
Sering kali – dan sekarang ini sudah sudah terasa – orang lupa bahwa angka-angka itu adalah jumlah manusia-manusia. Manusia-manusia disederhanakan ke dalam angka. Maka di sini ada – kalau boleh disebut – ancaman yang serius sekali, yaitu kecenderungan dehumanisasi di dalam pergulatan, termasuk pergulatan pemikiran, apalagi pergulatan kebijakan-kebijakan. Kita ini belum bicara soal angka-angka besar itu saja, karena teknologi informasi sekarang ini dengan media sosial dan lain sebagainya, ini sudah membiasakan dehumanisasi. Dulu saya itu agak aktif, sekarang karena ketua umum saya menarik diri dari media sosial, supaya saya punya cara berpikir yang berbeda dengan Donald Trump.
Saya perhatikan di dalam percakapan-percakapan di media media sosial, di platform-platform media sosial itu sendiri, ada kecenderungan dehumanisasi: orang tidak lagi dilihat sebagai manusia yang sama-sama punya darah daging, yang sama-sama hidup dikelilingi orang-orang yang disayangi, tapi hanya dilihat sebagai akun yang lalu tidak terlalu dipedulikan bagaimana perasaannya, bagaimana akibat-akibat yang diterima ketika diperlakukan dengan cara-cara yang tidak semestinya, misalnya. Ada dehumanisasi.
Sekarang ini kita lihat jelas, misalnya, dalam contoh konflik Israel-Palestina. Yang kita lihat adalah orang-orang yang marah atas nama satu pihak terhadap pihak lainnya: yang pro-Palestina jelas marah kepada Israel, yang pro-Israel jelas marah kepada Palestina. Dan mereka yang bertanggung jawab untuk membuat kebijakan pun, apalagi kepada manusia, kepada angka saja tidak peduli. Orang-orang yang saling marah bicara tentang angka-angka: yang pro-Israel mengatakan 1400 orang dibantai, diperkosa, dan sebagainya, yang pro-Palestina mengatakan lebih 12.000 dibantai, dan seterusnya. Angka. Orang lupa bahwa ini juga manusia. Yang 1400 orang Yahudi Israel itu juga manusia. Yang 12.000 orang Arab-Palestina itu masing-masing juga manusia yang berdarah daging, yang merasakan sakit, yang hidup di tengah-tengah orang-orang yang disayangi.
Jadi ada kecenderungan dehumanisasi, yang ini sebetulnya harus kita pikirkan secara mendalam. Nanti akan saya sampaikan sedikit tentang bagaimana, menurut saya, kita perlu merespons gejala ini.
Kemustahilan Ideologi di Masa Depan
Bapak ibu saudara sekalian.
Pidato saya ini diberi judul Orasi Kebudayaan. Kebudayaan itu mengandaikan satu set realitas yang kurang lebih mapan atau ingin dimapankan. Ini juga jadi kepikiran saya: jangan-jangan saya ini kalah dari Sosiawan Leak tadi itu soal berkebudayaan. Karena Sosiawan Leak ini mapan sekali: sarungnya itu sejak Februari 2022 tidak ganti sampai sekarang. Jadi sangat berbudaya dia ini.
Kemudian Pak Ulil tadi menyebut kita membayangkan masyarakat yang ideal di masa depan. Saya ingin menyampaikan satu hal yang, menurut saya, harus kita sadari juga saat ini, bahwa di samping skala dari satuan-satuan variabel itu menjadi besar sekali, faktor-faktor yang terlibat di dalam dinamika itu juga menjadi sangat kompleks, luar biasa kompleks. Belum dihitung spektrum dari diskrepansi (ketidaksesuaian) antara satu segmen dengan segmen yang lain di dalam Masyarakat. Kompleks sekali.
Maka, menurut saya, ini semuanya mengakibatkan kemustahilan ideologi. Kalau kita ingin membayangkan, mengaspirasikan satu kebudayaan, satu arah menuju kebudayaan masa depan, atau berpikir tentang masa depan yang ideal, itu menurut menurut saya ideologi. Karena Ideologi itu selalu mengasumsikan, pertama, klaim atas tafsir tunggal terhadap realitas. Kalau ada realitas begini, tafsirnya harus begini. Itu ideologi.
Yang kedua, pretensi untuk membentuk masyarakat sesuai dengan citra yang diinginkan dan dirumuskan oleh ideologi itu sendiri. Di mana-mana ideologi seperti itu. Komunisme, Islamisme, apa pun itu, menurut saya sekarang ini sudah mustahil. Bagaimana mungkin kita membuat makna tunggal dari realitas yang sedemikian kompleks? Dan bagaimana mungkin kita berpretensi untuk bisa mengatur realitas yang kompleks ini ke dalam konstruksi yang kita inginkan? Itu sulit sekali. Menurut saya mustahil. Maka, saya kira, paling jauh yang bisa kita pikirkan adalah prinsip-prinsip.
Kapan hari saya bicara di UGM, bicara bahwa sekarang Pancasila, misalnya, kita tidak bisa lagi berpretensi untuk menjadikan Pancasila itu sebagai ideologi, karena kemustahilan tadi. Lalu kita jadikan apa? Kita jadikan kembali sebagai prinsip-prinsip bahwa apa pun realitas yang kita hadapi ke depan nanti yang penting prinsipnya.
Ada satu dari pemikiran yang menurut saya paling menyakitkan, yaitu pemikiran untuk membuat keputusan tentang pilihan. Ini menyakitkan. Ini kan semua orang cenderung sakit setiap mau Pemilu ini, setiap mau Pilpres ini, karena membuat pilihan itu menyakitkan. Apalagi kalau kita bertanggung jawab atas, katakanlah, konstituensi yang luas seperti Nahdlatul Ulama ini, apalagi negara bangsa. Pilihan-pilihan itu luar biasa berat. Sementara kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang sungguh-sungguh kita yakini membawa maslahat.
Sedangkan sekarang ini – sekali lagi – realitas begitu kompleks. Stereotip-stereotip itu buyar. Kayak orang sarungan itu stereotip, sebetulnya. Sekarang tidak ada lagi. Sekarang sudah pakai katok (celana) semua ini.
Apalagi kalau kita lihat tahun 2005, itu Denny JA katanya hasil surveinya 27 persen, 2023 jadi 56,9 persen, dua kali lipat lebih. Orang separuh yang merasa NU-nya mulai 2005 sampai 2023 ini orang NU cap apa ini? Potongan macam apa? Saya yakin sudah berbeda sekali dengan orang-orang NU stereotip tahun 1990-an. Dan bahkan saya lihat juga sebagai fenomena sekarang ini, orang-orang NU tidak cuma beredar di sekitar pesantren-pesantren, masjid-masjid, atau majelis taklim-majelis taklim. Tapi di pasar-pasar, di terminal-terminal, di jalanan, ini orang-orang sudah merasa NU semua, sekian banyaknya. Stereotip-stereotip hilang.
Bahkan keyakinan-keyakinan yang mapan – yang tadinya kita anggap sebagai, katakanlah, prinsip yang tidak bisa jadi tawar – itu hari ini juga kacau. Misalnya apa? Misalnya prinsip-prinsip demokrasi. Saya tidak tahu, saya kira nanti Bib Aji bisa jelaskan, di Barat itu – paling tidak yang saya dengar di Inggris – itu ada gerakan anti demokrasi, karena premis-premis dari demokrasi ini sudah dianggap tidak lagi memenuhi aspirasi yang asli dari masyarakat. Sehingga apakah demokrasi ini masih perlu kita pertahankan, atau apakah model tertentu dari demokrasi itu masih harus kita pertahankan? Ini menjadi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang mau tidak mau harus kita hadapi.
Kenapa demikian? Karena di antara akibat dari skala pertimbangan yang luas itu ada kecenderungan industrialisasi semesta. Segala sesuatu diindustrialisasi. Ibadah saja jadi industri. Jelas sekali itu. Itu namanya haji-umrah itu industri beneran, dengan aksesori-aksesori yang didesain oleh industri: seragamnya, cara muthawif menuntun doa, itu desain industri semua. Kadang-kadang ditambah mampir ke mana, begitu. Ibadah jadi industri. Termasuk politik menjadi industri. Politik itu industri. Pemilu industri. Bagimana lagi? Berhadapan dengan skala yang begitu luas yang tidak mungkin dikelola kecuali dengan model industri. Yang namanya industri itu selalu, bukan biasanya, selalu padat modal dan berorientasi keuntungan. Itu industri.
Maka kemudian orang bertanya demokrasi ini apa sebetulnya? Demokrasi ini sebetulnya adalah saluran bagi genuine aspiration of the people atau sekadar wahana industri? Nah, ini harus dipikirkan.
Koherensi dalam Memasuki Kancah Kompetisi
Di pihak lain, kita berhadapan dengan situasi-situasi kompetisi yang sudah semakin keras, semakin berat untuk dihadapi. Dan prinsip paling mendasar dari satu entitas yang hendak memasuki kancah kompetisi itu adalah koherensi. Main bola itu, kesebelasan itu, harus koheren. Kalau tidak koheren tidak bisa menang. NU ini di tengah pertarungan seperti ini, harus koheren.
Jadi Savic itu kalau sampai tidak menurut sama saya, itu namanya tidak koheren, karena ini mendasar sekali. Ini koherensi. Ketika kita masuk dalam kancah pertarungan, termasuk juga bangsa negara ini untuk masuki kancah pertarungan internasional, harus koheren. Dan koheren itu berarti harus ada deliberate agenda, harus ada agenda-agenda yang sungguh-sungguh dirancang untuk persiapan pertarungan itu sendiri.
Itu sebabnya, ketika tempo hari sejumlah pimpinan organisasi pemuda dari Kelompok Cipayung datang ke PBNU menemui saya, saya bilang: dalam percakapan politik kita harus – termasuk di dalam negosiasinya – kita harus taruh semua pertaruhan itu di atas meja. Bukan hanya aspirasi demokrasi saja, tapi juga kebutuhan akan deliberate agenda, ini harus kita bawa ke atas meja dalam negosiasi. Ini memang painful. Merumuskan kebijakan itu painful, dan membutuhkan fokus dan kerja keras yang luar biasa.
Makanya yang paling enak sebetulya menjadi ketua umum PBNU, ini relatif paling enak. Makanya saya tidak mau jadi calon presiden, lebih enak jadi ketua umum PBNU. Kenapa? Karena ketua PBNU itu tidak butuh rating. Saya tidak peduli rating saya berapa, tidak peduli, sebagai ketua umum, karena saya cuma perlu mengurus sekian ratus cabang sudah beres. Asal mereka setia, aman saya. Maka saya menggunakan privilege ini untuk secara decisive membangun strategi. Saya bilang: orang mau tidak setuju sama saya, silakan, pokoknya sampai 2027 garus menyabar-nyabarkan diri, kenyataannya saya ketua umum.
GKMNU, Upaya Merespons Dehumanisasi
Nah, di antara yang saya bangun sebagai agenda secara decisive adalah upaya untuk merespons trend dehumanisasi ini dengan cara yang dulu menjadi tradisi NU. Itu sebabnya, sekarang ini PBNU meluncurkan program yang kami sebut Gerakan Keluarga Maslahat NU, yang isinya nanti adalah kegiatan-kegiatan di tingkat desa, yang diikuti oleh keluarga-keluarga, dengan isi segala sesuatu yang menjadi hajat keluarga. Mulai dari keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, semua, yang menjadi hajat keluarga menjadi isi dari program itu. Dan sekarang sudah jalan. Nanti kapan-kapan saya minta TVNU menyiarkan secara serentak.
Sekarang ini setiap minggu ada sekurang-kurangnya antara 500 sampai 2000 desa, ada kegiatan serentak dari Gerakan Keluarga Maslahat NU ini. Sudah jalan. Di setiap desa kita punya 7 orang petugas yang kita sebut Satgas. Dan sekarang kita sudah punya di tiga provinsi: Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY, jaringan Satgas ini di 17.000 desa di tiga provinsi. Dua minggu yang lalu kita mulai dengan Jawa Barat, dan baru minggu kemarin kita lakukan simultan juga dengan Banten, dan akan terus kita kembangkan.
Kenapa ini kita buat? Ini pemikiran saya, karena – ini perlu diketahui, sekarang saya pemikir juga – supaya NU ini kembali punya kebiasaan untuk engage dengan manusia-manusia secara langsung. Kader-kader NU ini supaya sejak dari bawah biasa berpikir tentang khidmah NU untuk manusia-manusia, bukan cuma untuk angka-angka. Dan ini fundamental sekali, menurut saya. Maka saya tidak peduli, dengan cara apa pun, saya ingin ini segera menjadi kemapanan di dalam model aktivisme NU. Saya punya waktu kira-kira 2 tahun lagi. Pokoknya saya paksa ini, 2-3 tahun lagi, ini harus menjadi model yang mapan, karena ini penting sekali. Karena harus ada yang mengambil tanggung jawab atas genuine aspiration dari masyarakat ini, dan tidak mungkin menangkap genuine aspiration itu kecuali menginternalisasi mindset dan mentalitas untuk melihat masyarakat sebagai manusia-manusia.
Ada banyak hal lagi yang kita bangun, termasuk bagaimana Nahdlatul Ulama ini mempunyai kapasitas yang membuatnya sebagai organisasi tidak hanya terima menjadi pasar industri saja – industri apa pun itu, termasuk industri politik – tapi harus punya kapasitas untuk menjadi pemain strategis di dalamnya.
Hal-hal yang demikian ini sangat penting untuk masa depan kita bersama, dan memang pemikiran tentang masa depan ini harus kita jadikan agenda utama. Hanya saja – kembali kepada yang saya singgung di depan – yang begini-begini ini jangan hanya dinikmati oleh kelas akademia saja.
Maksud Halaqah Fiqih Peradaban
Pak Ulil itu sebetulnya dari kemarin sudah saya ajarin, tapi dia tampaknya kurang mengerti maksudnya. Dia ini saya suruh bikin halaqah. Saya suruh mengelola halaqah di 250 titik dalam waktu 3 bulan. Itu maksudnya apa? Maksudnya supaya terlibat semua, semakin banyak kiai-kiai di semua tingkatan terlibat dengan isu yang kita pikirkan. Cuma salahnya Pak Ulil itu disuruh mengelola kok diubengi dewe, itu salahnya, dia malah keliling sendiri, akhirnya dia tidak bisa melihat gambar besarnya.
Nah, yang begini-begini ini saya minta untuk dibawa juga sampai ke tingkat yang paling bawah di dalam hierarki kepemimpinan NU ini, dan ke kalangan yang seluas-luasnya. Karena satu hal isu yang sangat strategis – nanti silakan diperdebatkan – apakah masih mungkin kita membayangkan masyarakat ideal? Silakan dipertimbangkan. Walaupun saya ingin ingatkan, ada kekhawatiran kalau sampean berpikir tentang masyarakat ideal, nanti jangan-jangan ujungnya jadi kayak ISIS sampean itu. Jadi, membayangkan negara ideal menurut Islam.
Nah, ini saya kira – Bapak Ibu sekalian, saudara-saudara – semoga ini bermanfaat, apa pun itu. Dan semoga kalau ada bias-bias diabaikan dan marilah kita buka bersama-sama dengan membaca Ummul Kitab. Kita hadiahkan hadirat Rasulullah Muhammad Saw, para masayikh kita, dengan niat washilah, semoga maksud-maksud baik dari ikhtiar-ikhtiar kita ini sungguh bisa terwujud sesuai harapan kita.
Ilā hadratin Nabiyyil Mustofā Sayidina wa Maulāna Muhammadin shallallāhu ‘alaihi wasallam, ilā hadrati arwāhi masyāyikhina masyāyikhi masyāyikhina, khususon ilā hadrati arwāhi muassisi Nahdlatil ‘Ulama’, wa ilā niyyatil wushul wal qabul wa ijabati kulli suul, syaiun lillah, Alfātihah. [Bersama-sama membaca surat Al-Fatihah].
Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.
Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua