Nasional

Tantangan Portal Berita di Era Informasi Digital

Kamis, 14 Februari 2019 | 19:45 WIB

 Jalarta, NU Online

Beberapa waktu lalu, pengamat media Indonesia dari The Australian National University, Ross Tapsell mengatakan bahwa salah satu penyebab maraknya berita hoaks di sosial media adalah menurunnya kepercayaan masyarakat pada media mainstream akibat keteribatan media mainstream dalam politik praktis pada pemilu 2014.

Sehingga saat ini, banyak beredar berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian berasal dari produsen berita yang tidak memiliki struktur redaksi yang kredibel. Tentunya ini menjadi tantangan terbesar bagi dunia pers dan media mainstream pada saat ini. Tantangan ini perlu dijawab dengan mengembalikan kepercayaan masyarakat pada pers mainstream, salah satunya dengan memberikan edukasi kepada publik dengan berita yang akurat dan terverifikasi kebenarannya.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo. Sebaliknya ia juga agar dunia pers tidak ikut terjebak dalam penyebaran informasi berita yang bersumber dari medsos yang belum tentu terverifikasi kebenaran berintanya.  

“Media mainstream dan media profesional harus bisa menjadi rumah penjernih atau clearing house sebagai tempat orang untuk bisa menemukan berita yang benar sesuai fakta. Media harus bisa menjadi bahan rujukan bagi masyarakat untuk mengecek kebenaran informasi yang mereka dapatkan,” ujar Yosep Adi Prasetyo di Jakarta.

Ia membenarkan apa yang dikatakan Ross bahwa media mainstream sebagai sumber informasi mengalami penurunan kepercayaan dari masyarakat. Keterlibatan media dalam politik, lanjutnya tak lain karena banyak pemilik media yang menjadi Ketua ataupun Pimpinan Partai atau berafiliasi pada partai tertentu sehingga menjadikan media tersebut sebagai boncengan politik.

Selain itu ada pergeseran pembaca, di mana yang membaca bahan-bahan cetakan hanya sisa dari Generasi Baby Boomers dan sebagian Generasi X. Lalu ke Generasi Y dan Generasi Z sudah tidak lagi membaca koran atau majalah, bahkan juga tidak menonton TV lagi.

“Mereka adalah kelompok milenial yang notabene adalah digital native yang mendapatkan informasi dari gadget yang ada dalam genggaman, berkomunikasi menggunakan medsos dan menonton hiburan atau film dari youtube, Netflix dan lain-lain,” katanya.

Faktor penyebab lainnya dikarenakan  industri media mengalami kegamangan dan kehilangan sumber-sumber peliputan. Hal ini dikarenakan para pejabat ataupun tokoh yang selama ini menjadi sumber informnasi berita juga lebih suka membuat vlog dan selfie yang tentunya bisa langsung dikomunikasikan ke masyarakat melalui medsos.

“Para pejabat sekarang ini sudah tidak lagi berbicara dengan para pemimpin redaksi dan wartawan senior. Karena itulah wartawan kemudian membuat berita dari pernyataan pejabat ataupun tokoh yang telah diunggah di medsos,” jelasnya.

Dirinya juga berharap kepada media mainstream atau pers juga tidak ikut terbawa arus dalam pemberitaan yang viral melalui medsos yang belum tentu benar pemberitaaanya tersebut. “Pers harus memegang teguh dan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik, disiplin melakukan verifikasi terhadap setiap informasi, dan tak tergoda untuk memburu isyu yang viral di medsos,” kata Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI). (Ahmad Rozali)