Opini

Ataturk dan Proses Pemindahan Ibu Kota

Selasa, 2 November 2021 | 05:00 WIB

Ataturk dan Proses Pemindahan Ibu Kota

Ilustrasi: Hagia Sophia Istanbul, Turki. (Foto: Anadolu Agency)

Oleh Hafis Azhari


Membaca novel Orhan Pamuk, sang peraih nobel sastra dari Turki (2006) yang berjudul "Istanbul" memang berkaitan dengan opini-opini publik perihal rencana pemindahan ibukota Indonesia ke Kalimantan. Novel itu tak membicarakan pemihakan pada ideologi tertentu. Ia hanya bicara soal manusia yang harus menjalani kodrat kemanusiaannya.

 

Meskipun nampak adanya faksi-faksi militerisme yang dikritik oleh Pamuk, tak lain karena mereka tidak lagi loyal membantu pemerintah pada saat pemerintah membangun tansformasi perubahan. Di sisi lain, para militer yang ambisius itu justru membangun agenda terselubung untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.


Kental sekali nuansa tarik-menarik antara ideologi timur dan barat, juga antara Islam dan sekularisme. Tentu saja corak Islam yang ditampilkan tak lain dari budaya dan peradaban Islam tradisional, sejenis dengan karya-karya sastra Timur Tengah lainnya seperti Najib Mahfudz, Taha Husein, Sjed Waliullah, Nawal el-Sadawi dan seterusnya.

 

Begitu pun yang menjadi kritikan Ataturk adalah Islam konservatif yang dianggap sebagai penghambat kemajuan, sebagaimana debat-debat pemikiran Islam modern yang diprakarsai seorang filsuf dari Mesir, Muhammad Abduh di awal abad ke-20, melalui bukunya yang mendunia, Limadza ta'akharal muslimun wataqaddama ghairuhum? (Kenapa umat Islam terbelakang, sementara yang lainnya mengalami kemajuan?)


Tetapi, ketika Presiden Erdogan menumpaskan upaya-upaya kudeta beberapa waktu lalu (2016), rupanya ia menampilkan diri selaku Sultan Mahmud II, di mana patung-patungnya segera didirikan sebagai simbol kemenangan atas penaklukkan Romawi Timur. Di zaman sebelum masehi, wilayah Turki dikenal sebagai Byzantium. Kemudian, di bawah kekhalifahan Utsmaniyah (1453 M) ia dikenal sebagai Konstantinopel.

 

Kejayaan Islam klasik justru dimanfaatkan Erdogan sebagai upaya mengikis perlawanan yang merongrong pemerintahan yang sah. Baginya, persatuan dan kesatuan bangsa Turki mutlak harus diperjuangkan, meskipun terpaksa mengorbankan ratusan "tentara pembangkang" yang harus dijebloskan ke dalam penjara.


Proses pemindahan ibu kota

Ada dua kota besar di Turki yang menjadi pusat perhatian masyarakat setelah usainya Perang Dunia I, yakni Istanbul dan Ankara. Satu kota lainnya yang bernama Erzurum telah menjadi bagian dari kekuasaan negeri Rusia. Situasi politik internasional, sangat memengaruhi keputusan Mustafa Kemal Ataturk untuk memindahkan ibukota negara dari Istanbul ke Ankara.


Perjanjian Lausanne (1923) yang diprakarsai kalangan nasionalis, dan didukung penuh oleh Ataturk, memosisikan Ankara adalah tempat paling strategis untuk menjadi ibukota Turki. Kota Istanbul, yang masih di bawah kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman), tetap bertahan sebagai negara di bawah pemerintahan tersendiri.

 

Sementara itu, Ataturk yang didukung kekuatan penuh kaum muda nasionalis berpusat di Kota Ankara. Sejak tahun 1918, Ataturk konsisten untuk terus menciptakan identitas nasional baru Turki, kemudian berupaya mendekonstruksi rezim lama (Ottoman) serta membangun sebuah negara bangsa (nation-state) yang baru.


Pada 15 Juli 2016 lalu, gerakan kudeta militer di Turki berhasil diredam di sekitar alun-alun Taksim, Kota Istanbul. Saat itu, Erdogan membuka sejarah masa lalu tentang kekhalifahan Utsmani, demi untuk melegitimasi kekuasaannya di satu sisi, tetapi di sisi lain bisa dibenarkan jika dimaksudkan untuk menjaga stabilitas persatuan dan kesatuan rakyat Turki.

 

Dari perspektif lain, tidak sedikit intelektual Barat yang mengonotasikan perlakuan Erdogan dalam menumpaskan pemberontakan, sehaluan dengan kekuasaan Dinasti Habsburg di Eropa Tengah yang meligitimasi simbol-simbol agama ortodoks, sambil membentangkan bendera-bendera kejayaan Kristen Katolik di Roma.


Ketika Attaturk memutuskan pemindahan ibukota ke Ankara, seakan ia ingin memutus ikatan antara zaman Ottoman dan Republik Turki. Pemindahan ibukota itu didasari oleh beberapa alasan yang berkaitan dengan degradasi moral pemerintahan secara internal, yang oleh Ataturk disebut "Sickman of Europe". Ia terang-terangan menghendaki Turki sebagai negara yang berdaulat, percaya diri, demokratis, dan modern.


Kekhalifahan Utsmaniyah telah digerogoti mentalitas monarkis yang berakar kuat di Istanbul, dan didominasi oleh para birokrat dan militerisme rezim Ottoman, sebagaimana militerisme rezim Orde Baru di Indonesia. Ia tidak ingin memanfaatkan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik dan kekuasaan, juga tak mau melegitimasi agama sebagai "senjata" untuk melawan kekuatan pembaharu yang diprakarsai angkatan muda.


Masa lalu adalah masa kini


Attaturk seakan sudah memprediksi apa yang akan digambarkan dalam novel "Istanbul" karya Orhan Pamuk sekian puluh tahun kemudian. Ia adalah kota yang indah, meskipun keindahan itu tetaplah hanya menjadi catatan sejarah kejayaan masa lalu. Sedangkan Ankara, didesain untuk menjadi bagian dari masa depan Turki yang diimpikan sebagai negara dan bangsa modern.


Sebagai bentuk untuk mengakhiri masa lalu, pada tanggal 3 Maret 1924, melalui Majelis Nasional Agung, Ataturk memutuskan untuk memberhentikan Abdul Majid II sebagai khalifah, kemudian membubarkan kekhalifahan yang sudah berumur 600 tahun, serta mengubah struktural kebudayaan Turki.


Kerendahan hati dan jiwa besar Ataturk, tetap dalam posisi menghargai kota Istanbul yang telah banyak berjasa dalam membawa Turki memasuki masa depan. Secara implisit saya nyatakan persoalan itu dalam novel Pikiran Orang Indonesia, bahwa problem masa lalu akan selalu aktual sebagai kajian sejarah untuk merangkai masa depan. Masa lalu sangat berjasa untuk menemukan masa kini dan masa yang akan datang.

 

Ataturk ingin menjadikan bangsa Turki setara dengan bangsa Eropa secara sosial, pendidikan, dan kultural. Ia ingin menjadikan Turki sebagai bagian dari komunitas internasional bangsa-bangsa modern, seperti halnya restorasi Meiji yang merombak habis kultur pendidikan tradisional Jepang.


Kebesaran kekhalifahan Utsmaniyah sangat berguna sebagai kaca benggala bagi masa depan Turki. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan kemajuan negara bangsa, Attaturk justru mengutip apa yang dinyatakan Abraham Lincoln (1809-1865), "Kalau kita tidak merencanakan masa depan karena kita hidup di zaman sekarang, maka kita akan terperangkap dalam jebakan masa lalu."


Ibu kota Turki akhirnya berpindah menuju Ankara, meninggalkan Istanbul dengan seluruh kebesarannya di masa lalu. Mustafa Kemal Ataturk sebagai bapak bangsa, perintis, dan pendiri Republik Turki meninggal pada 10 November 1938 di Istana Dolmabahce, Istanbul. Kemudian, ia dimakamkan di Ankara pada 21 November 1938, sebagai ibu kota baru Turki.


Penulis adalah penganggit novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten